Komnas HAM Dorong Polisi Tangani Kasus Masyarakat Adat di Sihaporas lewat Restoratif Justice
Komnas HAM RI mendorong kepolisian menangani kasus terkait masyarakat adat di Sihaporas secara keadilan restoratif atau restoratif justice.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM RI mendorong kepolisian menangani kasus terkait masyarakat adat di Sihaporas secara keadilan restoratif atau restoratif justice.
Kasus tersebut terkait penangkapan 5 warga masyarakat adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas Simalungun Sumatera Utara pada 22 Juli 2024 dini hari lalu.
Kini empat di antaranya telah ditetapkan tersangka oleh pihak kepolisian.
Komisioner Mediasi Komnas HAM RI Prabianto Mukti Wibowo menjelaskan tim Komnas HAM telah melakukan tinjauan lapangan langsung terkait kasus tersebut dan mendalami dua permasalahan.
Permasalahan pertama, kata dia, penanganan pihak kepolisian atas lima orang yang ditangkap.
Kedua, lanjut dia, untuk mendalami klaim masyarakat adat tersebut dengan wilayah adat.
Dari dua permasalahan itu, kata dia, tim Komnas HAM telah melakukan serangkaian pertemuan langsung dengan kelompok Lamtoras atau warga Sihaporas yang menuntut adanya wilayah adat.
Tim Komnas HAM, kata dia, juga berdialog dan menemui beberapa organisasi pendamping di antaranya AMAN Tano Batak.
Selain itu, kata dia, pihaknya juga telah berdialog dengan pihak perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang berkonflik dengan masyarakat adat tersebut.
Ia mengatakan, dari proses tersebut pihaknya mendapatkan penjelasan terkait kronologi kasus tersebut dari kepolisian.
Selain itu, kata dia, kepolisian juga telah menjelaskan tindakan kepolisian yang dilakukan dalam rangka melakukan penangkapan terhadap para terlapor dari kasus dugaan penganiayaan antara masyarakat adat dengan petugas atau pegawai sub kontrak dari PT TPL.
Hal itu disampaikannya saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Rabu (18/9/2024).
"Dalam pertemuan dengan pihak kepolisian tentunya Komnas HAM terus mendorong upaya restoratif justice dan tentunya kami ingin memastikan bahwa tindak kepolisian telah dilakukan secara profesional. Dalam artian mulai dari penyidikan, pemberkasan, sampai ke penuntutan di Kejaksaan," kata dia.
"Kami bertemu dengan pihak Kapolres Simalungun dan Kejaksaan Negeri setempat dan mereka memberikan jaminan bahwa segala tindakan yang mereka lakukan telah sesuai dengan SOP yang berlaku," sambung dia.
Terkait dengan masalah klaim lahan atau wilayah adat masyarakat di Sihaporas, kata dia, pihaknya telah berupaya mencoba untuk mendapatakan kejelasan mengenai keberadaan warga masyarakat adat tersebut.
Hal tersebut, kata dia, karena harus ada prosedur yang dipenuhi dalam proses perlindungan dan pengakuan masyarakat adat.
Untuk itu, kata dia, Komnas HAM menanyakan langsung kepada para pendamping yang paham mengenai aturan-aturan tersebut.
Menurutnya, apa yang disampaikan para pendamping, masyarakat adat tersebut telah menguasai dan memanfaatkan lahan di sana secara turun temurun.
Akan tetapi, kata dia, belum bisa dipastikan mengenai eksistensi keberadaan masyarakat adat.
"Untuk itu Komnas HAM merekomendasikan supaya dilakukan kajian antropologis sebenarnya untuk bisa memperkuat pembuktian," kata dia.
"Karena memang ada kekhawatiran dari pihak Kabupaten Simalungun apabila ini diberikan pengakuan, tentunya warga adat yang lain pun juga akan merespons, merespona dalam artian mungkin menolak atas pengakuan masyarakat hukum adat Sihaporas ini," sambung dia.
Dalam proses tersebut, kata dia, pihaknya juga telah bertemu dengan pihak Pemkab maupun pihak Provinsi.
Untuk itu, kata dia, pihaknya menyimpukan perlu dilakukan sebuah kajian independen untuk bisa memperkuat pengakuan atau perlindungan yang harus diberikan kepada masyarakat adat tersebut.
"Namun di sisi lain kita juga melihat kehidupan masyarakat setempat. Jadi kami ingin memastikan bahwa hak-hak kesejahteraan, kehidupan mereka juga aman, dan terus bisa mendapatkan penghasilan dari sumber daya alam yang ada di sana," kata dia.
"Untuk itu kami pun juga sudah merekomendasikan baik ke perusahaan maupun kelompok masyarakat ini untuk bisa melakukan perdamaian. Perdamaian dalam artian harus ada komunikasi dan musyawarah, sebenarnya apa yang masyarakat perlukan dan apa yang perusahaan bisa berikan," sambung dia.
Dengan demikian, kata dia, masyarakat tetap bisa memperjuangkan hak wilayah adat ke pemerintah, namun di sisi lain di lapangan, pihaknya juga ingin memastikan bahwa hak kesejahteraan warga lokal betul-betul bisa terpenuhi.
"Untuk itu kami mendorong tidak hanya kepada warga tetapi juga kepasa perusahaan untuk bisa melakukan kesepakatan perdamaian dengan memberikan akses pengelolaan kawasan hutan. Karena itu statusnya masih kawasan hutan negara. Untuk bisa sama-sama memanfaatkan dan untuk kesejahteraan masyarakat," kata Prabianto.
Duduk perkara
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, lembaga sipil yang mendampingi warga, mengatakan kasus ini tidak bisa dilepaskan dari kehadiran PT TPL dan konflik agraria di wilayah ini.
Menurut AMAN, komunitas adat Sihaporas tengah memperjuangkan hak atas tanah mereka yang tumpang tindih dengan area konsesi perusahaan. Akan tetapi, pengakuan itu belum mereka dapat dari pemerintah.
“Kalau perusahaan berkelit mereka tidak terlibat dalam kejadian ini, tidak bisa juga, justru karena mereka lah kejadian ini ada,” kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak.
Masyarakat Sihaporas bukan satu-satunya komunitas adat yang mempertahankan hak atas tanah mereka di sekitar wilayah operasional PT TPL. Kasus ini, juga bukan kali pertama masyarakat adat di Simalungun berhadapan dengan hukum.
Pada Maret 2024, seorang kakek bernama Sorbatua Siallagan dari komunitas adat lainnya di Simalungun, Ompu Umbak Siallagan, juga ditangkap polisi karena dituduh merusak hutan di area konsesi perusahaan. Sorbatua kini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun.
Penangkapan lima warga
Diberitakan sebelumnya, perwakilan masyarakat adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas Simalungun Sumatera yang datang ke Jakarta menceritakan proses penangkapan lima warga oleh kepolisian.
Selain itu, perwakilan tersebut juga sempat menceritakan dugaan teror dan intimidasi yang dilakukan baik pihak perusahaan maupun kepolisian kepada warga di sana.
Anggota komunitas adat yang ditangkap dan dibawa pergi yakni Tomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Prando Tamba, dan Pak Kwin Ambarita.
Kapolres Simalungun AKBP Choky S Meliala juga telah menyatakan penangkapan kelima warga terkait pengrusakan secara bersama-sama pada 18 Juli 2024.
"Penjemputan ini merupakan tindak lanjut dari laporan pengrusakan secara bersama-sama sesuai Pasal 170 KUHP," kata Kapolres AKBP Choky Meliala dikutip dari Tribun-Medan.com.
Atas penangkapan tersebut, pihak masyarakat adat didampingi kuasa hukumnya juga berupaya melakukan pra peradilan untuk menggugat penetapan empat tersangka dari lima orang yang ditangkap tersebut.
Empat orang tersebut yakni Tomson Ambarita, Jonny Ambarita, Parando Tamba, dan Giovani Ambarita.
Namun demikian, Hakim Tunggal pra peradilan Anggreana E Roria Sormin menolak gugatan tersebut pada persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Simalungun pada Selasa (20/8/2024) siang.
Anggreana mengatakan bahwa penetapan tersangka telah sesuai dengan prosedur penangkapan yang diatur dalam KUHAP.
"Bahwa penyidikan yang dilakukan telah sesuai, alat bukti yang disampaikan di persidangan telah memenuhi persyaratan KUHAP, dan telah memenuhi syarat penahanan," kata Anggreana dikutip dari Tribun-Medan.com.