Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemangku Adat dan Cendekiawan Simalungun Klarifikasi ke KLHK soal Tanah Adat, Ini Rekomendasinya

Masyarakat di kerajaan-kerajaan Simalungun tidak mengenal masyarakat adat karena penduduknya terdiri dari kelompok bangsawan dan masyarakat petani

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Erik S
zoom-in Pemangku Adat dan Cendekiawan Simalungun Klarifikasi ke KLHK soal Tanah Adat, Ini Rekomendasinya
Dok. PACS/PMS
(Ki-Ka): M. Sharon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat melalui Agung Pambudi Agung Pambudi (kedua kiri), Rohdian Purba, Ketua Umum DPP/Presidium Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun (PACS)/Partuha Maujana Simalungun (PMS) Dr. Sarmedi Purba (kanan) di Kantor KLHK pada Rabu (18/9/2024) 

Setelah menjadi daerah penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 menjadi 7 kerajaan (Raja Marpitu), ditambah Kerajaan Raya, Purba dan Silimakuta.

Sebelum Perang Dunia II (1939-1945) dan di bawah pemerintahan kolonial Belanda, daerah di Kabupaten Simalungun berbentuk daerah pemerintahan otonomi Kerajaan yang disebut daerah Swapraja.

“Sekali lagi, kami ingin menegaskan bahwa tidak ada dan tidak dikenal istilah masyarakat adat dan tanah adat di Simalungun sejak abad ke-8 Masehi hingga zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada tanah adat di wilayah Kabupaten Simalungun, dari dahulu sampai sekarang,” tegas Sarmedi Purba. 

Sarmedi Purba membeberkan benang merah dan sederet fakta-fakta sejarah Tanah Habonaron Do Bona.

Dia berharap semoga penjelasan dapat menjadi rujukan kebijakan pemerintah ke depan serta pemahaman terhadap kelompok lembaga sosial kemasyarakatan atau organisasi keagamaan.

 

BERITA TERKAIT
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas