Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Reza Indragiri Risau dengan Kasus Guru Supriyani: Kriminalisasi yang Overdosis

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri menilai, kasus guru Supriyani telah dikriminalisasi secara berlebihan.

Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Garudea Prabawati
zoom-in Reza Indragiri Risau dengan Kasus Guru Supriyani: Kriminalisasi yang Overdosis
Kolase Tribunnews.com
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri menilai, kasus guru Supriyani telah dikriminalisasi secara berlebihan. 

TRIBUNNEWS.COM - Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri mengaku risau dengan kasus guru Supriyani di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Guru honorer itu dipidana karena dituding telah menganiaya murid kelas 1 Sekolah Dasar (SD), yang seorang anak polisi.

Reza menilai, kasus guru Supriyani telah dikriminalisasi secara berlebihan.

"Saya harus akui, saya dirisaukan oleh kesan kasus ini sudah menjadi semacam hyper criminalization, kriminalisasi yang overdosis," kata Reza, dikutip dari YouTube Nusantara TV, Senin (28/10/2024).

Ia menganggap, penahanan yang dilakukan terhadap Supriyani merupakan bentuk perlakuan yang melebihi takaran dan tidak sepatutnya dikenakan terhadap guru honorer itu.

"Ternyata apa yang saya anggap sebagai hyper criminalization antara lain terbukti."

"Terwujud dalam penanganan tersebut ternyata segedang sepenarian dengan penetapan hakim kemarin," ungkapnya.

Berita Rekomendasi

Maksud dari penetapan hakim itu yakni terkait dikabulkannya penangguhan penahanan terhadap Supriyani.

Hal ini menunjukkan, kata Reza, penahanan sesungguhnya tidak perlu dilakukan terhadap Supriyani.

Lebih lanjut, Reza menjelaskan, hyper criminalitation ini berangkat dari kecenderungan otoritas penegakan hukum yang melihat berbagai macam situasi dari kacamata pidana.

"Jadi mudah sekali untuk mengatakan, 'oh ini pelanggaran hukum, 'oh ini kejahatan', 'oh ini pelaku kejahatan' dan seterusnya," terang Reza.

Baca juga: Dukung Guru Supriyani, PGRI Tuntut 4 Hal: Kami Minta Siapapun yang Bermain Api Dihukum

"Terlalu mudah menggunakan kacamata pidana," imbuhnya.

Padahal, menurut dia, untuk kasus-kasus yang efek pidananya relatif minor, tidak perlu menempuh langkah litigasi.

Litigasi adalah proses penyelesaian perkara melalui pengadilan. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.

"Apalagi nanti pada penghukuman, masuk dalam lembaga pemasyarakatan, tidak harus seperti itu," paparnya.

Reza menjelaskan, ada langkah 'elegan' yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus guru Supriyani.

Yakni dengan restorative justice, sebuah upaya penyelesaian hukum dengan cara kesepakatan bersama.

"Pandangan saya tentang pentingnya restorative justice ini juga segendang sepenarian dengan komitmen Kapolri, Jenderal Listyo Sigit."

"Dalam komitmen ketujuh yang dia utarakan sesaat setelah dilantik sebagai Kapolri adalah betapa pentingnya personil Polri mengedepankan pendekatan restorative justice bukan litigasi," urainya.

Reza menegaskan, apa yang ia utarakan ini tidak dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap kekerasan.

Menurutnya, dalam Undang-undang Perlindungan Anak sudah dijelaskan, kekerasan baik itu fisik, psikis, maupun seksual adalah pidana.

"Jadi tidak ada ruang pembenaran bagi kekerasan. Namun, apakah pada kasus ini telah terjadi atau justru tidak terjadi kekerasan, itu saya tidak tahu."

"Dan sepenuhnya itu saya serahkan kepada otoritas penegakkan hukum yang faktanya proses hukumnya sudah berjalan," tandasnya.

Sebagai informasi, hari ini, Senin (28/10/2024), sidang kedua kasus guru Supriyani digelar di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan.

Penasihat hukum Supriyani, Andri Darmawan mengatakan, kasus Supriyani ini direkayasa.

Baca juga: Pengacara Aipda WH: Guru Supriyani Mengaku Pukul Anak Aipda WH

Menurutnya, kasus ini memiliki konflik kepentingan antara pelapor dan penyidik, di mana mereka satu kantor.

"Kemudian ada paksaan kepada Ibu Supriyani untuk mengaku padahal dia tidak melakukan."

"Ada permintaan Rp50 juta. Jadi itu semua pelanggaran prosedur," katanya, dilansir TribunnewsSultra.com.

Potret Guru Supriyani (kemeja putih) saat tiba di Pengadilan Negeri atau PN Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan, untuk mengikuti persidangan perdana, Kamis (24/10/2024).
Potret Guru Supriyani (kemeja putih) saat tiba di Pengadilan Negeri atau PN Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan, untuk mengikuti persidangan perdana, Kamis (24/10/2024). (Tribunsultra.com/ Samsul)

Andri juga menyebut dalam kasus ini, penyidik hanya mengacu pada tiga keterangan anak.

"Yang diketahui dalam KUHAP keterangan anak itu tidak bisa dikategorikan sebagai keterangan saksi."

"Kalaupun ia menjadikan bukti petunjuk penyidik tidak bisa menjadikan bukti petunjuk tapi hakim, karena itu kewenangan hakim," tandasnya.

Andri juga mengkritisi terkait bukti petunjuk yang menurutnya tidak berkesesuaian dengan saksi-saksi yang diperiksa.

Termasuk saksi guru bernama Lilis.

"Ibu Lilis ini saksi dewasa, pasti disumpah. Itu sudah diperiksa bahwa tidak ada itu (penganiayaan)," terangnya.

Andri juga menyoroti luka yang dialami korban dari pukulan dianggap tidak sinkron dengan hasil visum.

"Pukulan satu kali tapi menimbulkan beberapa banyak luka. Ada di situ kaya melepuh luka paha dalam," tegasnya.

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunnewsSultra.com dengan judul Bacakan Eksepsi Sidang Kedua, Penasehat Hukum Sebut Kasus Guru Supriyani Konawe Selatan Direkayasa

(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, TribunnewsSultra.com/Sugi Hartono)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas