Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perbandingan Kronologi Polisi dan Ibu Agus Pria Disabilitas Jadi Tersangka Kasus Rudapaksa Mahasiswi

Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan pria disabilitas asal Kota Mataram bernama I Wayan Agus Suartama (21) menuai sorotan.

Editor: Wahyu Aji
zoom-in Perbandingan Kronologi Polisi dan Ibu Agus Pria Disabilitas Jadi Tersangka Kasus Rudapaksa Mahasiswi
dok.
I Wayan Agus Suwartama alias Agus Buntung (22) sebagai tersangka pemerkosaan terhadap mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Mataram, NTB, saat disuapi makanan oleh keluarganya. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan pria disabilitas asal Kota Mataram bernama I Wayan Agus Suartama (21) menuai sorotan dari berbagai pihak.

Agus sebagai tersangka karena diduga melakukan rudapaksa seorang mahasiswi di salah satu home stay di Denpasar, Bali.

Dir Krimum Polda NTB Kombes Pol Syarief Hidayat mengatakan, penetapan Agus sebagai tersangka setelah melalui serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi.

Polisi sudah memeriksa lima orang saksi dan dua orang saksi ahli, berdasarkan hasil visum juga ditemukan dua luka lecet di kelamin korban akibat benda tumpul.

"Ini bisa disebabkan oleh alat kelamin atau yang lainnya, namun tidak ditemukan adanya luka robek lama atau baru di selaput dara," kata Syarief dalam keterangan tertulis yang diterima TribunLombok.com, Minggu (1/12/2024).

Syarief juga mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan psikologi terhadap tersangka, penyebab Agus nekat merudapaksa perempuan tersebut akibat pengaruh judi dan minuman keras selain itu akibat bullying yang diterimanya sejak masih kecil.

"Kondisi tersebut meningkat pada tindakan menyetubuhi," jelas Agus.

Berita Rekomendasi

Mantan Wakapolres Mataram itu juga mengatakan, kondisi tersangka yang disabilitas tanpa dua tangan tersebut dimanfaatkan untuk menyetubuhi korban, Agus juga memilih korban dengan kondisi yang lemah secara emosi.

"Tersangka memanfaatkan kerentanan yang berulang, sehingga timbul opini tidak mungkin disabilitas melakukan kekerasan seksual," kata Syarief.

Meskipun Agus tidak memiliki dua tangan namun saat menjalankan aksi bejatnya dia menggunakan kakinya, seperti halnya melakukan aktivitas sehari-hari.

Polisi tidak melakukan penahanan terhadap Agus, alasannya selama dia kooperatif dalam memberikan keterangan tidak dilakukan penahanan.

Agus dijerat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan ancaman 12 tahun penjara atau denda Rp 300 juta. 

Keterangan ibu korban

Sementara itu, Ibu tersangka yakni I Gusti Ayu Aripadni mengaku kaget atas kasus yang melibatkan Agus.

"Kaget saya, bahkan saya syok pas ditetapkan tersangka," ujarnya kepada media Minggu (1/12/2024).

Bahkan ia mengaku pertama kali mendengar hal itu, dirinya sampai tak sadarkan diri.

"Sampai di bawa ke rumah sakit Bhayangkara, saya anggap diri saya udah nggak ada waktu itu," ujarnya.

Ayu menceritakan bagaimana dirinya mengurus Agus yang sejak kecil tidak memiliki kedua tangan.

Ia pun turut sedih ketika anaknya saat ini tengah menjalani tahanan rumah, yang membuat proses perkuliahan Agus terganggu.

Ia pun tak menyangka anaknya bisa sampai sejauh ini, padahal untuk melakukan aktivitas pun Agus menurutnya perlu bantuan orang lain.

"Saya kan sering temanin dia, karena kondisinya kan nggak bisa dia lakukansendiri, harus saya bantu. Seperti buang air kecil dan makan juga," bebernya.

Dengan suara terbata-bata, Ayu mengaku peristiwa yang menimpa anaknya, telah menjadi beban terberat dalam hidupnya.

"Mungkin ini kasus terberat bagi saya," tandasnya.

Agus bantah lakukan rudapaksa

Kepada wartawan, Agus membantah telah melakukan rudapaksa karena kondisi fisiknya yang disabilitas atau tunadaksa.

"Yang saya bingungkan bagaimana saya memperkosa? Sementara saya terus terang saya enggak bisa buka celana sendiri, enggak bisa buka baju sendiri. Dan memang kalau perkosaan itu ada kekerasan seksual, bagaimana saya melakukan kekerasan seksual?" kata Agus.

Agus mengaku awalnya bertemu dengan korban di Taman Udayana, Mataram.

Setelah berkenalan dan mengobrol, Agus lalu meminta tolong kepada korban untuk mengantarkan ke kampus.

Namun, bukannya diantar ke kampus, korban mengajak tersangka Agus ke salah satu homestay di Mataram.

Dikatakan Agus, korbanlah yang membayar kamar.

Lalu, membukakan pintu kamar homestay, hingga melakukan hubungan suami istri di sana.

Tersangka Agus mengatakan tidak berani melawan karena saat itu sudah tidak berbusana.

Dia mengeklaim dirinya yang menjadi korban dan dijebak.

"Karena saya enggak habis pikir sampai kasus ini sampai sebesar ini karena pulang pergi baik-baik saja. Dia yang bayar, dia yang bukain, dia yang nutupin. Saya hanya nurutin aja apa maunya dia, tiba-tiba kok saya kayak gini. Nah, saya berani bilang kalau saya ini dijebak," kata Agus. 

Pasca-kejadian di homestay tersebut, korban melaporkan tersangka ke Polda NTB atas dugaan kekerasan seksual.

Agus mengatakan telah dipanggil dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.

Saat ini dia sudah menjalani 17 hari tahanan rumah.

Agus berharap, kasus yang dihadapi segera selesai agar bisa berkuliah dan bermain gamelan lagi seperti semula.

I Wayan Agus Suwartama alias Agus Buntung (22) tersangka pemerkosaan terhadap mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Mataram, NTB.
I Wayan Agus Suwartama alias Agus Buntung (22) tersangka pemerkosaan terhadap mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Mataram, NTB. (dok.)

Pengakuan Mahasiswi

Sementara itu, Ade Latifa Fitri, yang merupakan pendamping M, mengatakan, korban akhirnya memberanikan diri untuk melaporkan kejadian yang dialami ke Polda NTB.

Sebelum kejadian, korban diduga mendapat ancaman dan intimidasi oleh tersangka Agus.

"Yang dialami (korban) pada akhirnya adalah terjadi persetubuhan yang itu terjadi mungkin sulit diterima oleh nalar, nalar sederhana sulit diterima, tapi hal-hal seperti itu bisa terjadi dengan berbagai macam cara, bukan hanya bentuk fisik, tapi juga manipulasi, ancaman, intimidasi itu juga sangat memungkinkan untuk melemahkan korban," kata Ade.

Ade menceritakan, kejadian berawal saat korban berkenalan dengan tersangka AG di Teras Udayana.

Saat itu, korban tengah mencari udara segar sendirian.

Lalu Agus mendekati korban dan mengajak ngobrol.

"Dari obrolan itulah yang pada akhirnya cara manipulasi itu kemudian dilakukan. Memang kekuatan kata yang dilakukan pelaku, dengan memanfaatkan kondisi psikologis korban," kata Ade.

Tersangka sempat meminta korban melihat ke arah utara, di mana saat itu ada orang yang tengah melakukan tindakan asusila.

Melihat kejadian itu, korban lalu menangis.

Tersangka lalu menanyakan masa lalu korban.

Lalu pada akhirnya korban menceritakan aib masa lalunya kepada tersangka.

Ade mengatakan, setelah mendengar aib masa lalu yang selama ini disimpan oleh korban.

Agus lalu mengajak korban ke bagian belakang Teras Udayana.

"Saat itu tersangka mengatakan bahwa korban harus disucikan dari masalahnya di masa lalu dan caranya adalah mandi bersih dengan cara ikut bersama pelaku ke homestay itu," kata Ade.

Ade mengatakan, saat itu korban sempat menolak ajakan tersangka.

Namun, tersangka kemudian mengancam akan menceritakan aib tersebut kepada orangtua korban jika tidak menuruti kemauannya.

Takut dengan ancaman tersebut, korban M lalu menurut saat diajak tersangka ke salah satu homestay.

"Justru yang memaksa terjadinya perjalanan sampai ke homestay itu adalah karena paksaan dari si pelaku. Jadi manipulasi, ancaman, dan intimidasi itu dilakukan kepada si korban," kata Ade.

Menurut Ade, tidak ada satu hal pun yang bisa menghalangi seseorang berbuat kejahatan jika memang sudah ada niat dan kesempatan.

"Jadi ketika kita melihat si pelaku yang ada keterbatasan (disabilitas) dan segala macamnya, kita tidak bisa kemudian semerta-merta menihilkan bahwa mereka punya upaya," kata Ade.

Apalagi tersangka adalah seorang yang produktif dalam kesehariannya.

"Dia bukan orang yang benar-benar kesulitan terkapar di kasur dan sebagainya. Kalau kita lihat keseharian dia adalah mahasiswa, dia bepergian kuliah, dia bisa bersama teman-teman dan lain sebagainya," kata Ade.

Menurut Ade, keterbatasan tersangka tidak semerta-merta menihilkan peluang kekerasan seksual terjadi.

Apalagi dengan yang dilakukan tersangka adalah dari ancaman intimidasi verbal.

"Mungkin bagi masyarakat, ya bagaimana ancaman dan intimidasi bisa berakhir di perkosaan, justru itu karena permainan emosi yang dilakukan oleh pelaku yang bisa melemahkan korban," kata Ade.

Pihaknya berharap masyarakat terus mengawal proses hukum ini untuk mengungkap siapa yang benar dan siapa yang salah.

Baca juga: Agus Bantah Rudapaksa Mahasiswi: Saya Nggak Bisa Buka Celana Sendiri, Bagaimana Bisa Melakukan?

"Jangan sampai tidak ada kemungkinan di dalamnya, karena banyak kemungkinan terjadi, apalagi korban berani melaporkan, artinya korban sudah berupaya dengan keras," tutur Ade.

Artikel ini telah tayang di TribunLombok.com

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas