Ini Sejarah Kemunculan Oro-oro Kesongo di Blora yang Meletus Lagi dan Bikin Warga Sesak Napas
Fenomena ini, menurutnya, bisa berulang di masa akan datang. Sebab, jika melihat proses alam selalu akan berulang.
Editor: willy Widianto
Tidak diketahui sejak kapan salsa tersebut aktif, namun dinamikanya dapat dicermati. Dari serangkaian citra satelit dalam 20 tahun terakhir, tampak dinamika griffon di dalam salsa tersebut, yang mengindikasikan dinamika erupsi lumpur dan diapir di bawahnya.
“Awalnya griffon berada di sisi barat laut salsa, dimana setelah letusan besar 2009 semakin membesar, dan ketika letusan besar 2013 griffon aktif pindah ke sisi timur salsa. Kemudian semenjak 2016 titik griffon menempati letaknya saat ini, yaitu di sisi selatan salsa,” ucapnya.
Baca juga: Ancaman Teror, Intimidasi hingga Berujung Kehilangan Nyawa, Perlu Ada Etika Penagihan Utang
Fenomena ini, menurutnya, bisa berulang di masa akan datang. Sebab, jika melihat proses alam selalu akan berulang, bila material masih tersedia dan perpindahan energinya masih sama. Apalagi mengingat jumlah lumpur di Formasi Tawun di bawah sana masih berlimpah, dengan kondisi tektonik yang sama, tentu letusan besar berikutnya akan terjadi.
“Yang terpenting adalah mitigasi bencana bisa diterapkan, mengingat fenomena gunung lumpur adalah kesamaan dengan proses vulkanisme gunung berapi, yang berbeda hanyalah material dan energinya,” tuturnya.
Ia menambahkan Indonesia yang memiliki 127 gunung api aktif, mitigasi bencana gunung api telah memiliki protokol yang baku, didukung oleh peralatan dan sumber daya manusia yang memadai. Meski begitu, implementasinya untuk mitigasi bencana Gunung Lumpur Kesongo memiliki tantangan tersendiri.
Gunung Lumpur Kesongo berada di kawasan yang tidak berpenduduk, serta memiliki dampak letusan dengan radius tidak terlalu besar, menyebabkan tidak adanya nilai ancaman kebencanaan bagi masyarakat, ekonomi, dan infrastrukturnya.
Baca juga: Ponsel Milik Remaja yang Bunuh Ayah dan Nenek di Lebak Bulus Diperiksa, Polisi Tak Temukan Hal Aneh
Meski begitu, dengan semakin bertambahnya aktivitas masyarakat di sekitar kawasan Gunung Lumpur Kesongo (dan gunung-gunung lumpur lain) seperti petani, peladang, penggembala, dan penambang garam, tentu upaya mitigasi tetap perlu diupayakan. Mulai dari sosialisasi gejala awal bencana letusan gunung lumpur, pemasangan alat monitoring sederhana, hingga instrumen peringatan dini.
“Pemerintah daerah dapat mengajak beberapa perusahaan minyak dan gas bumi yang beroperasi di kawasan tersebut untuk mulai membangun sistem mitigasi bencana gunung lumpur karena kedua belah pihak sama-sama berkepentingan. Pemerintah daerah berupaya untuk melindungi warga dan ekonominya, sedangkan perusahaan minyak berupaya untuk mempelajari dinamika diapir lumpur yang berdampak pada keberadaan hidrokarbon di bawah permukaan bumi,” pungkasnya.
Baca juga: Temuan KNKT Soal Kondisi Lokasi Kecelakaan Maut di Km 92 Tol Cipularang