Kisah Pilot AU Vietnam yang Jatuhkan Bom di Istana Kepresidenan
50 menit setelah istana dibom, istrinya Thi Cam serta dua anak perempuannya Thi Thvong (5) dan Thanh Muong (8 bulan) telah ditangkap dan disiksa.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Seperti halnya Letnan Daniel Maukar di Indonesia, begitu pula Capt. Nguyen Thanh Trung. Ia tidak punya maksud berlebihan. “Saya hanya ingin menghentikan perang dan pembunuhan,” akunya.
Setelah 25 tahun Perang Vietnam berakhir, orang kembali ingat kepada ikon bangsa Vietnam, Capt. Nguyen Thanh Trung si “pembangkang” Saigon yang membom Istana Doc Lap di Saigon menggunakan pesawat tempur F-5E Tiger II pada 8 April 1975. Alias 15 tahun setelah aksi Maukar menyerang Istana Negara Republik Indonesia pada 9 Maret 1960.
Saat ini Nguyen Thanh Trung yang lahir tahun 1947, dikenal sebagai salah satu ikon perjuangan di Vietnam. Ia dengan alasan sangat pribadi, membom istana Presiden Vietnam Selatan Nguyen Van Thieu (saat itu) di Kota Saigon.
Ulah dendam
Mei 1969, sehari setelah secara rahasia ia bergabung dengan sayap militer Partai Komunis Vietnam Selatan yang mendukung AD Vietnam Utara Viet Cong, Trung mendaftarkan diri di AU Vietnam Selatan (SVAF).
Pihak Selatan menerima Trung tanpa sedikitpun rasa curiga. Trung lalu dikirim ke pangkalan udara AU Amerika di Texas, Louisiana dan Mississippi sebagai kadet penerbang. Trung disiapkan SVAF sebagai pilot pesawat tempur.
Ketika kembali dari AS, Trung berpangkat letnan satu dan bergabung dengan satuan elit SVAF Skadron 534. Sebagai salah satu pilot terbaik di skadronnya, Trung bisa terlibat dalam dua hingga tiga misi pemboman di Viet Cong dalam sehari.
Tapi, tanpa sepengetahuan seorangpun, sesuatu terus mengganjal di kepala Trung yang dari hari ke hari terus membayanginya: dendam!
Sekitar tujuh tahun sebelumnya (1963), seorang remaja tanggung terlihat berjalan gagah memasuki pelataran sekolah di My Tho.
Bagi Trung muda (15), pagi itu sama seperti hari-hari sebelumnya, semua berjalan seperti biasa. Barulah ketika sekitar pukul 9, seorang temannya masuk ke dalam kelas dan langsung mendatanginya sambil membisikkan sesuatu ke telinga Trung.
“Bapak kamu terbunuh,” jelasnya sambil berlalu. Trung kaget mendapat bisikkan tak enak. Dia terdiam sambil memandang lurus ke papan tulis seperti 50 siswa lainnya.
Dia coba mengendalikan emosinya, tenang sekali anak muda ini. Dia sadar, siapa ayahnya dan resiko apa yang akan diterimanya. “Ayah seorang Viet Cong. Kami tahu dia hidup dalam bahaya,” tutur Trung.
“Saya terduduk dan berpikir. Siapa yang harus bertanggungjawab. Saya tidak dapat menyalahkan orang yang menembak ayah saya. Yang bersalah adalah Pemerintah Vietnam Selatan dan Presiden Diem,” katanya mengenang.
Sejak itulah, dendam mulai membara dalam dirinya. Rencana-rencana pembalasan, mulai mengganggu pikirannya.