Ramai Soal 'Doktor Psikologi' Diduga Lakukan Pelecehan Seksual, Bagaimana Cara Pilih Psikolog?
Viral doktor psikologi yang diduga melakukan pelecehan seksual. Begini cara memilih psikolog yang tepat.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Media sosial semakin ramai membicarakan sosok yang mengaku sebagai Doktor Psikologi berinisial DS.
Hal itu menyusul banyaknya korban yang mengaku mendapat pelecehan seksual dari DS.
Seperti yang ada dalam unggahan akun Instagram pribadi selebgram Revina VT, seorang korban menunjukkan isi pesan DS yang mengajaknya melakukan terapi di kamar hotel.
Bahkan, DS tak meminta biaya pengobatan terapi yang ia berikan.
Diketahui, DS mulai menjadi sorotan publik setelah selebgram Revina VT mengungkapkan kejanggalannya yang ia temukan saat akan memenuhi ajakan DS untuk berkolaborasi membuat sebuah konten Youtube.
Sebelum memenuhi tawaran DS, Revina sempat menelusuri nama DS dalam daftar tenaga medis di Sistem Informasi Keanggotaan (SIK) Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).
Baca: Chat Psikolog DS Susanto ke Vanessa Angel Dibongkar Bibi Ardiansyah
Baca: Tutup Kolom Komentar, DS Susanto Jelaskan Asal Gelar Doktor Psikolognya, Serang Balik Revina VT
Namun, rupanya nama DS tak terdaftar di sana.
Setelah itu, pengakuan korban pun terus bermunculan.
Tak sedikit masyarakat yang menjadi khawatir untuk melakukan konsultasi kepada psikolog.
Psikolog di Yayasan Praktek Psikolog Indonesia, Adib Setiawan, S.Psi., M.Psi., mengatakan terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk memilih psikolog yang tepat.
Berikut cara memilih psikolog yang tepat:
1. Pastikan psikolog memiliki lisensi dari HIMPSI
Adib menegaskan bahwa seluruh psikolog di Indonesia dipastikan memiliki lisensi dari HIMPSI.
Menurut Adib, sangat penting bagi masyarakat untuk memastikan bahwa dirinya sudah ditangani oleh psikolog yang tepat.
Pasalnya, Adib mengatakan, sebuah kalimat saja dapat dipahami dengan makna yang berbeda-beda, tergantung dengan ilmu, persepsi, dan pemahaman yang dimiliki.
Dengan konteks ilmu yang berbeda, pemahaman dari apa yang disampaikan orang lain pun akan berbeda.
Seseorang yang tidak benar-benar tersertifikasi sebagai psikolog diragukan memahami bahwa konteks masalah klien harus dilihat dengan sangat individual.
Baca: Tanggal Lahir Sama, Raffi Ahmad & Nagita Slavina Rayakan Ultah Sekaligus Umrah, Ini 5 Fotonya
Baca: Janda Kaya Ini Ditemukan Tewas di Dalam Lipatan Kasur, Pembuluh Darah Pecah Hingga Diduga Dibunuh
Baca: Janda Kaya Ini Ditemukan Tewas di Dalam Lipatan Kasur, Pembuluh Darah Pecah Hingga Diduga Dibunuh
"Misal seseorang cerita tentang kasusnya, itu konteksnya harus ditetapkan, masalahnya apa," terang Adib.
Adib menerangkan, dalam menangani kliennya, psikolog memahami bagaimana memetakan kondisi psikis seseorang.
Baca: DS Susanto Dituding Ngamar & Cium Tubuh Pasien, Sang Psikolog Semprot Revina: Fitnah Itu Kira-kira
"Nggak bisa dipukul rata kondisinya, misalkan 'wah semua terkena mental blok', kan nggak semua masalah mental block," jelas Adib.
"Misal klien ini sembuh, klien ini lama, makanya perlu psikolog yang menangani," sambungnya.
Adib menuturkan, seorang psikolog semestinya telah mengambil pendidikan profesi psikologi pada jenjang S-2.
"Di situ (S-2 Psikologi) sudah dipelajari bagaimana aspek-aspek manusia, bagaimana menghadapi seseorang yang trauma, bagaimana menghadapi seseorang yang tidak mau berbicara, bagaimana menghadapi orang yang paranoid, moody, benci orang tua.
Soal benci saja bermacam-macam," tutur Adib.
2. Pastikan terapi atau konseling dijalankan di pusat terapi
Menurut psikolog dari www.praktekpsikolog.com yang berkantor di Bintaro, Jakarta Selatan ini, seorang psikolog tidak mungkin mengajak kliennya menjalankan terapi maupun konseling di hotel.
Adib mengatakan, seorang psikolog basanya menjalankan terapi di tempat prakteknya, baik tempat praktek pribadi maupun tempat praktek psikolog.
"Buat masyarakat, yang paling penting dipahami adalah diketahui bahwa terapi pasti di tempat praktek, bukan di hotel karena hotel rentan," kata Adib saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (17/2/2020) pagi.
3. Psikolog Tidak Akan Mengumbar Curhatan Kliennya di Media Sosial
Menurut Adib, masyarakat juga perlu memilih psikolog yang tidak terlalu sosmed oriented.
Dikhawatirkan, psikolog tersebut memiliki maksud-maksud tertentu sehingga ia menyebarkan apa yang diceritakan oleh kliennya.
Adib menegaskan, psikolog tentu mengerti bahwa apa yang disampaikan oleh klien bersifat sangat rahasia.
"Jadi kalau ada psikolog yang suka mengumbar-ngumbar sesuatu di media sosial, mending jangan ke situ.
Kenapa? Karena dikhawatirkan rahasia klien tidak dijaga dengan baik, padahal itu sesuatu yang sifatnya harus dirahasiakan sampai kapan pun," terang Adib.
4. Jangan Terima yang Gratisan
Adib juga menyarankan masyarakat untuk tidak tergiur tawaran terapi gratis.
"Jangan sampai ada yang gratis-gratisan, kita kan nggak pernah tahu apa maksud orang," kata dia.
Surat-Surat yang Dimiliki Psikolog Klinis
Adib menambahkan, untuk menghindari praktek psikolog abal-abal, perlu diketahui bahwa terdapat sejumlah surat yang harus dimiliki psikolog klinis.
Surat tersebut di antaranya:
1. Ijazah S1 Psikologi dan S2 Psikologi
Baca: Live Streaming Mola TV Chelsea vs Manchester United Liga Inggris, Akses Gratis di Sini
2. Surat Izin Praktek Psikologi (SIPP)
3. Surat Sebutan Psikolog
Baca: Australia Akan Evakuasi 200 Warganya dari Kapal Diamond Princess Yang Dikarantina di Jepang
4. Sertifikat Sumpah Profesi Psikolog Klinis
5. Surat Tanda Registrasi (STR), hanya dimiliki psikolog klinis
6. Hasil Uji Kredensial
Baca: Peringatan Dini Cuaca Ekstrem 17-19 Februari 2020, Hujan Disertai Petir di Jabodetabek hingga Papua
7. Surat Izin Praktik Psikolog Klinis (SIPPK)
Adib mengatakan, yang paling wajib dimiliki psikolog yaitu Ijazah S-1 Psikologi, Ijazah S-2 Psikologi, dan SIPP.
Baca: Tanggal Lahir Sama, Raffi Ahmad & Nagita Slavina Rayakan Ultah Sekaligus Umrah, Ini 5 Fotonya
Sementara, psikolog yang menangani klien di Rumah Sakit bersama psikiater harus memiliki lima surat lainnya yang terdapat dalam daftar di atas.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta)