Ironis! Biodiversivitas Indonesia Melimpah, Tapi 95 Persen Bahan Baku Obat Masih Impor
Selama ini sekitar 90 persen bahan baku pembuatan obat masih harus diimpor.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam membenarkan apa yang disampaikan Menristek Bambang.
"Memang khusus untuk bahan baku ini kita masih tergantungnya (impor) hampir 90 sampai 95 persen," kata Khayam.
Kendati demikian, ia menyampaikan bahwa kebutuhan dalam negeri terkait obat-obatan ini sebenarnya sudah bisa dipenuhi industri farmasi.
"Jadi memang industri farmasi kita ini sebenarnya kalau kita lihat sudah cukup bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri ya, sekitar 70 persen," jelas Khayam.
Sementara itu para pelaku industri farmasi saat ini terus mengupayakan agar biodiversitas alam Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku obat, seperti yang dilakukan Dexa Medica.
Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Raymond R Tjandrawinata mengaku bahwa pihaknya telah mencari cara untuk mengatasi impor bahan baku obat.
"Kami berpikir bagaimana ketahanan bangsa ini menggunakan bahan baku yang berasal dari biodiversitas alam Indonesia," ujar Raymond.
Sejak beberapa tahun lalu Dexa Medica secara mandiri mendirikan laboratorium sendiri serta melakukan berbagai riset untuk menemukan bahan baku lokal yang cocok untuk produk mereka.
"Sejak 2005 kami sudah mendirikan suatu laboratorium dan juga aneka riset yang kami lakukan di Dexa medical untuk mencari bahan baku dari dalam negeri biodiversitas alam yaang bisa digunakan sebagai obat asli alam Indonesia," kata Raymond.
Pihaknya mencoba mencari tanaman yang dianggap memiliki keunggulan pada tiap daerah dan menggunakan pharmacology molecular untuk menghasilkan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) berupa fitofarmaka.
Raymond berharap seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia mau beralih menggunakan OMAI meskipun saat ini OMAI masih menjadi obat pelengkap dari obat-obatan kimia.
"Kami menggunakan pharmacology molecular dan akhirnya kami mendapatkan obat-obat OMAI berupa fitofarmaka yang sudah kami produksi. Nah ini semoga digunakan di semua klinik fasilitas kesehatan di Indonesia," ujar Raymond.