Hujan Buatan Dihentikan, Ada Metode Lain Kurangi Polusi Udara Jakarta, Tapi Berisiko Kru Hipoksia
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan hujan buatan untuk mengurangi polusi udara di Jakarta dihentikan. Ada metode lain, tapi berisiko.
Penulis: Anita K Wardhani
"Perpaduan kedua ini memang menyebabkan potensi hujan di wilayah Indonesia termasuk juga di Jakarta dan Jawa pada umumnya sangat rendah,"
Baca juga: Polusi Udara Jakarta: Kulit Wajah Juga Ikut Menderita
Selain itu, penyebab lainnya karena dari parameter cuaca lain kelembaban udara di lapisan atas Jakarta masih kering, sehingga tidak memicu terjadinya pertumbuhan awan.
"Juga energi pengangkatan massa udara di Jakarta itu juga sangat rendah sekali hanya selama 3 hari hanya 200 sampai 300. Padahal hujan memicu awan-awan konveksi itu nilainya antara 1500 sampai 2000 bahkan 3000 kalau hujan disertai petir ini yang menyebabkan sulit ditemuinya awan-awan potensi untuk hujan," terang Budi.
Ada Skenario Lain untuk Kurangi Polusi Udara Jakarta, Tapi Berisiko
Mengguyur air hujan dianggap jadi cara yang lebih efektif untuk mengurangi polusi udara.
Modifikasi cuaca serupa pernah dilakukan pada 2019 silam.
Saat itu mengemuka tiga skenario teknologi modifikasi cuaca yang bisa digunakan untuk mengantisipasi pencemaran udara di Jakarta.
Skenario pertama yaitu dengan penyemaian awan dengan garam NaCl saat ada awan potensial agar hujan terjadi seperti yang sudah dilakukan sejak Minggu 19 Agustus 2023.
Baca juga: Peneliti BRIN Ungkap Alasan Hujan Buatan untuk Kurangi Polusi Udara di Jakarta Sulit Dilakukan
Namun, jika hal tersebut tidak memungkinkan dilakukan, TMC dapat dilakukan dengan skenario berikutnya.
Sama seperti skenario pada 2019, jika hujan buatan dengan menyemai bahan semai NACl gagal diakukan, maka ada pilihan ”mengganggu” stabilitas atmosfer.
Ini dilakukan jika tidak ada awan potensial maka akan dilakukan penghilangan lapisan inversi menggunakan semai dry ice pada lapisan-lapisan inversi sehingga menjadi tidak stabil.
Menurut Budi Harsoyo, caranya dengan menaburkan bahan semai dalam bentuk es kering atau dry es di ketinggian tertentu di udara.
Di situ terdapat semacam hamparan awan serupa karpet panjang.
Hal itu terjadi karena tidak adanya perbedaan temperatur di titik ketinggian tersebut atau isoterm yang kemudian menimbulkan lapisan inversi.
”Nah, ini yang akan kita ganggu, dibuka ibaratnya, sehingga kumpulan-kumpulan polutan yang terkungkung di sekitar wilayah Jakarta bisa terus naik ke atas,” tutur Budi.