Cerita Ibunda Tuti Kunjungi TKI Tuti Tursilawati di Arab Saudi Sebelum Dieksekusi
Keluarga TKI asal Majalengka, Tuti Tursilawati harus menghadapi kenyataan pahit. Tuti Tursilawati dieksekusi mati oleh Pemerintah Arab Saudi.
Penulis: Daryono
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi

Kami semua berduka untukmu Tuti dan tentu juga berduka utk korban Lion kmrn.
Dibawah ini sepenggal cerita saya ttg kunjungan bulan lalu di Majalengka, di rumah Tuti Tursilawati.
Insya Allah Tuti pulang......
Di bawah terik matahari yang bikin udara sumuk, Rabu, 5 September 2018, namun terasa agak dingin ketika memasuki sebuah rumah bercat biru dengan pagar berwarna merah bata di pinggir jalan di bawah kaki gunung Majalengka. Di halaman rumahnya ada beberapa pot bunga yg memperindah. Tepatnya di Desa Cikeusik Sukahaji Majalengka. Rumah itu adalah kediaman ibu Iti Sarniti, ibunda Tuti Tursilawati, PRT migran yg sudah 8 tahun ini menanti keadilan di Arab Saudi dg vonis hukum yg sudah incracht, yaitu "hukuman mati". Tuti divonis hukuman mati atas tuduhan pembunuhan terhadap majikannya dimana fakta yang sesungguhnya dia membela diri karena akan diperkosa majikan saat baru bekerja selama 9 bulan, tepatnya pada 11 Mei 2010. Tuti diberangkatkan ke Arab Saudi pada 5 September 2009 oleh PT Arunda Bayu. Saat berangkat, Tuti meninggalkan anak berusia dua tahun dan kini sudah kelas 1 SMP. Hingga kini anaknya tidak diberi tahu tentang kasus ibunya. Ibunda Tuti juga pernah bekerja di Saudi selama 4 tahun.
Migrant CARE (saya, Melanie Subono, Nur Harsono, Ika Masruroh, Eko Maryono) dan Mediana silaturahmi ke Majalengka untuk memberikan dukungan dengan ditemani Disnaker Majalengka, SBMI Majalengka dan pak Kuwu (kepala desa) Cikeusik. Memasuki rumah Tuti, tak jauh dari pintu, terpampang 4 pigura photo. Yang menyita perhatian saya adalah photo dengan ukuran 10 R dengan bingkai yg sederhana, bu Iti berfoto dengan Tuti Tursilawati. Saya mendekati photo itu, nampak jelas mata bu Iti dan Tuti sebam dan basah, hidung Tuti bahkan nampak merah. Tak terbayangkan suasana di balik photo itu yang pasti haru. Photo itu diambil bulan Mei lalu, kata Bu Iti. Saat saya mengunjunginya di penjara di Arab Saudi dengan dampingan Kemlu RI bersama keluarga Eti Thoyib yang juga terancam hukuman mati. Kunjungan Mei lalu merupakan kunjungan ketiga, dimana sebelumnya dilakukan pada tahun 2010 dan 2012. Dengan berurai air mata, ibu Iti terus bertutur bahwa kunjungan Mei lalu merupakan kunjungan paling berkesan. Bisa mengunjungi Tuti di penjara selama 1,5 jam, dimana dalam kunjungan sebelumnya hanya bisa ketemu 10 menit. Tidak hanya itu, kunjungan yang ketiga kemarin juga bisa memeluk Tuti dan berfoto dimana tidak bisa dilakukan pada kunjungan sebelumnya.
Tuti kemarin minta dibawakan daster batik dan cemilan. Ibu membawakannya dua daster dan beberapa cemilan: rengginang, keripik singkong dan opak. Bawaan cemilan itu langsung kita makan rame-rame di penjara. Tuti nampak senang. Tutur Bu Iti.
Dalam ruang tamu rumah Tuti yang tidak terlalu besar, sofa dijajar agak mepet. Posisi duduk saya yang agak berhadapan dengan bu Iti mempertemukan lutut saya dan lutut bu Iti. Saya mencoba merasakan apa yang dirasakannya. Tangan saya terus memegangi lengannya, matanya tak henti-hentinya menetes. Seisi ruang tamu juga turut mengusap mata dengan tisu, pun demikian saya. Terutama saat bu Iti dengan penuh isak mengatakan bahwa sudah 8 tahun saya menghadapi situasi sulit ini, apakah Tuti bisa bebas atau tidak. Dari hari ke hari hanya doa dan tangis yg tak henti. Dengan agak lirih, bu Iti bergumam "saya ikhlas apapun yang terjadi, tapi insya Allah Tuti bisa pulang". Air mata kami tak terbendung, sesenggukan bersautan. Kami saling diam, jeda, menguatkan diri masing-masing dan mencoba terus menguatkan bu Iti.
Beban bu Iti makin berat ketika tahun lalu, ayahnya Tuti meninggal dunia karena sakit komplikasi dan juga beban pikiran tentang kasus Tuti. Persis bu Iti kehilangan tempat bersandar. Namun dalam kedukaan harus selalu semangat: saya harus sehat, biar Tuti tetap punya saya dalam menghadapi masalah ini, sambil terisak. Saya harus kuat, katanya. Kukatakan pada bu Iti, ibu perempuan kuat, pejuang. Saya juga seorang ibu dari dua anak perempuan. Saya belum tentu sekuat ibu jika berada pada posisi ibu.
Setahun terakhir terasa sangat berat dilalui. Sehari-hari ditemani adiknya Tuti yang sudah berkeluarga dengan seorang anak perempuan yang masih kecil, kira2 seusia dengan Sakwa, anak kedua saya. Cucunya itu merupakan pelipur lara. Ibu Iti jarang berani keluar rumah karena stigma dan pertanyaan masyarakat seringkali menyakiti. Jadi sudah dieksekusi ya? Pertanyaan itu sering dilontarkan oleh beberapa orang. Bu Iti selalu menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia masih terus berupaya dan Tuti masih rutin telpon sebulan 2 kali dari penjara. Kemlu juga rutin telpon untuk mengabarkan perkembangan kasusnya. Namun sebagian orang yang tanpa sensitifitas tidak puas dengan penjelasan itu dan mengatakan bahwa mereka baca dan melihat media menginfokan bahwa Tuti sudah dieksekusi. Hal itu yang membuat bu Iti trauma untuk keluar rumah.
Siang itu saat kami tengah ngobrol, telpon dari Arab masuk dan itu dari penjara. Tuti memberi kabar bahwa dia sehat dan ibunya bercerita tentang kunjungan kami yang datang untuk memberikan dukungan.
Jam menunjukkan pukul 15.30 dan kami pamitan karena harus mengejar kereta terakhir ke Jakarta melalui stasiun Cirebon. Dari Majalengka membutuhkan 2,5 jam plus 30 menit untuk makan siang yang lumayan udah telat. Tiga toples kue kering dan air mineral yang dihidangkan di meja tamu rumah Tuti tak tersentuh sedikitpun karena semua orang larut pada kesedihan. Cat dinding rumah warna pink jadi tidak nampak segar karena suasana. Saat pamitan saya memeluknya lama, air matanya tumpah menjadi-jadi menetes di baju saya.
Yang kuat ya bu Iti, pemerintah tengah mengajukan PK, semoga dikabulkan. Dan masyarakat sipil seperti kami juga bisa mengawal prosesnya dan mengambil peran people to people diplomacy.
Majalengka, 5 September 2018
Anis Hidayah."
(Tribunnews.com/Daryono)