Fakta Terbaru Kasus Suap Proyek PLTU Riau 1, Telisik Aliran Dana hingga Pengakuan Eni Saragih
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 Idrus Marham mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Fathul Amanah
TRIBUNNEWS.COM - Komis Pemberantasan Korupsi (KPK) KPK telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Mereka adalah Mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, Mantan Wakil Ketua Komisi VII, Eni Maulani Saragih, dan pemilik saham PT Blackgold Natural Resources Ltd, Johannes Budisutrisno Kotjo.
Ketiganya juga sudah resmi ditahan di rutan K-4 KPK.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Politisi Partai Golkar itu bersama-sama dengan Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Baca: KPK Telisik Aliran Dana Suap PLTU Riau-1 ke Munaslub Golkar
Berikut fakta terbaru kasus suap proyek PLTU Riau 1, dikutip Tribunnews.com dari berbagai sumber:
1. KPK Telisik Aliran Dana
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengujarkan, KPK akan tetap memprosesnya penerima aliran dana dari korupsi PLTU Riau-1 itu, meskipun ada sejumlah pihak mengembalikan uang korupsi yang diduga berasal dari Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar.
"Kami uraikan ada uang sekitar Rp712 juta yang mengalir pada Munaslub (Golkar pada 2017) atau salah satu kegiatan Partai Golkar, karena posisi Eni (Saragih) di Partai Golkar dan kepanitiaan juga salah satu pengurus Partai Golkar lain yang sudah mengembalikan uang kepada KPK," ujar Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (15/1/2019).
"Jadi yang diuraikan di dakwaan adalah dugaan aliran dana tersebut," ungkap Febri.
Baca: Eni Maulani Saragih: Idrus Marham Tidak Terima Uang Suap Proyek PLTU Riau-1
Dalam dakwaan Idrus yang saat itu pejabat teras Partai Golkar, KPK menyebut ada aliran dana dari pengusaha Johanes B. Kotjo kepada Idrus Marham dan Eni sebesar Rp 2,25 miliar.
Dari uang tersebut, sekira Rp 712 juta uang digunakan untuk kepentingan Munaslub Partai Golkar.
Febri pun menginformasikan ada pengembalian uang yang dilakukan pengurus partai.
Ia tidak memungkiri ada sejumlah peristiwa pidana yang tidak dibuka dalam persidangan.
Baca: Idrus Marham Didakwa Terima Uang Terkait Proyek PLTU Riau-1
Namun, peristiwa umum sudah dituangkan dalam dakwaan sehingga bisa diproses dalam persidangan.
"Fakta ini kami buktikan dulu di proses persidangan," ujar Febri.
"Kalau bicara tentang apakah pengembalian uang itu menghilangkan pidana, tentu saja tidak menghilangkan pidana, tapi apakah pidana dapat diterapkan misalnya pidana korupsi pasal suap, Pasal 2 atau Pasal 3 dapat diterapkan itu sepenuhnya bergantung apakah unsur-unsur pasalnya terbukti," jelas Febri.
2. Minta Uang Untuk Maju Ketum Golkar
Mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, mempunyai keinginan menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Setya Novanto.
Baca: Hari Ini Idrus Marham Akan Jalani Sidang Perdana Kasus Suap PLTU Riau-1
Untuk itu, dia meminta kepada Eni Maulani Saragih, selaku bendahara Munaslub Partai Golkar untuk meminta uang sejumlah USD 2,5 juta kepada Johanes Budisutrisno Kotjo untuk keperluan Munaslub Partai Golkar Tahun 2017.
Pada saat itu, Idrus Marham mendapatkan kepercayaan sebagai penanggungjawab Munaslub.
"Dikarenakan terdakwa berkeinginan untuk menjadi pengganti antar waktu Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Setya Novanto yang masih memiliki sisa jabatan selama 2 (dua) tahun, yang selanjutnya disanggupi oleh Eni Maulani Saragih," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Selanjutnya, pada 25 November 2017, Eni mengirimkan pesan melalui aplikasi WhatsApp yang pada pokoknya Idrus Marham dan Eni meminta uang sejumlah USD 3 juta dan SGD 400 ribu kepada Johanes Budisutrisno Kotjo.
Baca: KPK: Idrus Marham Segera Disidang Terkait Kasus Suap PLTU Riau-1
Menindaklanjuti WA tersebut, pada tanggal 15 Desember 2017, terdakwa dan Eni melakukan pertemuan dengan Johanes Budisutrisni di kantornya di Graha BIP Jakarta.
"Dalam pertemuan itu Johanes menyampaikan kepada terdakwa terkait adanya fee sebesar 2,5 % yang nantinya akan dibagi kepada Eni jika proyek PLTU MT RIAU-1 berhasil terlaksana," kata JPU pada KPK.
Selanjutnya, terkait fee yang dijanjikan oleh Johanes sebelumnya, Eni meminta sejumlah uang kepada Johanes untuk kepentingan Munaslub Partai Golkar dan terdakwa juga meminta agar Johanes mau membantu.
Selanjutnya, permintaan terdakwa dan Eni disanggupi Johanes.
Baca: KPK Periksa Direktur Bisnis Regional Maluku dan Papua PT PLN untuk Kasus Suap PLTU Riau 1
"Atas permintaan terdakwa dan Eni, pada 18 Desember 2017, Johanes memerintahkan Audrey Ratna Justianty selaku sekretaris pribadinya untuk memberikan uang dalam mata uang rupiah sejumlah Rp 2 Miliar kepada terdakwa dan Eni melalui Tahta Maharaya di kantor Johanes Budisutrisno di Graha BIP Jakarta," tambah JPU pada KPK.
3. Pengakuan Eni Saragih
Eni Saragih membenarkan ada aliran uang dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk keperluan Munaslub Partai Golkar Tahun 2017.
Eni menilai pemberian uang dari pengusaha membiayai Munaslub Partai Golkar merupakan hal yang biasa.
"Itu yang mungkin kalau Munaslub itu untuk kegiatan partai," kata Eni, di Sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Baca: Giliran Kotjo dan Setnov Jadi Saksi di Sidang Kasus Dugaan Suap PLTU Riau-1
"Yang sebenarnya yang saya pahami waktu itu saya bisa meminta kepada pengusaha untuk menyumbang partai. Jadi bukan terkait dengan PLTU sebenarnya," ungkap Eni.
Menurut Eni, pemberian uang kepada partai adalah hal yang wajar.
Akan tetapi, pada saat itu, Eni mengaku tidak menyadari posisi sebagai wakil rakyat.
"Yang saya pahami itu pengusaha kalau mau nyumbang partai apapun kegiatan sosial saya pikir masih wajar. Saya lupa. DPR (anggota) kadang mungkin harusnya ya harus lihat dulu," kata dia.
Baca: Kotjo: Uang 4,7 Miliar untuk Munaslub Golkar dan Suami Eni Tidak Ada Hubungan dengan PLTU Riau-1
Namun, dia meminta, supaya sumbangan itu tidak disangkutpautkan kepada Idrus Marham.
"Saya kira waktu itu pengusaha bisa menyumbang untuk partai, tetapi bukan berarti sumbangan itu kami kaitkan ke pak Idrus, bahwa itu untuk kegiatan partai," tambahnya.
(Tribunnews.com/Whiesa)