Anggap Banyak yang Salah Paham, Mahfud MD Tegaskan Jual Beli Jabatan Rektor UIN Hanya Ada 3 Kasus
Merasa banyak pihak yang salah paham terhadap penjelasannya di ILC, Mahfud MD kembali tegaskan hanya ada tiga kasus jual beli jabatan rektor di UIN.
Penulis: Fitriana Andriyani
Editor: Fathul Amanah
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tegaskan kembali mengenai kasus jual beli jabatan rektor di UIN/IAIN.
Mahfud MD kembali menjelaskan kasus tersebut melalui media sosial Twitter, Kamis (21/3/2019).
Hal itu ia lakukan sebab Mahfud MD merasa banyak pihak yang salah paham terhadap penjelasan yang ia sampaikan di Indonesia Lawyers Club (ILC) pada Selasa (19/3/2019).
Beberapa pihak yang salah paham menganggap Mahfud MD menggebyah uyah atau memukul rata bahwa di UIN/IAIN se-Indonesia ada kasus jual beli jabatan rektor.
Baca: Mahfud MD Bongkar Tiga Dugaan Skandal Besar di UIN Jakarta, Makassar dan Meulaboh Aceh
"Penjelasan saya di ILC TV One Selasa, 19 Maret 2019, msh terus menjadi diskusi.
Ada yg salah paham, misalnya, mengatakan saya menggebyah-uyah bahwa di UIN/IAIN se Indonesia ada jual beli jabatan rektor.
Bg yg salah paham sebaiknya ditonton lg di youtube seluruh statement sy itu," tulis Mahfud MD.
Melalui cuitannya itu, Mahfud MD menjelaskan bahwa kasus jual beli jabatan rektor hanya terjadi di tiga institut, yanki UIN Makassar, UIN Jakarta dan IAIN Meulaboh.
Mahfud MD pun memastikan bahwa subjek yang terlibat dalam kasus tersebut dapat dikonfirmasi untuk dimintai keterangan.
Baca: Kasus Romahurmuziy, Mahfud MD: Banyak yang Ingin Bersaksi, Makin Panas jika Dibuka ke Publik
Untuk kasus jual beli jabatan rektor di UIN Makassar, subjek yang terlibat adalah Andi Faisal Bakti.
Dalam pemilihan rektor UIN Makassar, Andi Faisal Bakti menang, tetapi dibatalkan atau tidak diangkat menjadi rektor.
Andi Faisal Bakti akhirnya menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang.
Tetapi Kementerian Agama, lembaga negara yang mengepalai UIN tetap tidak mau mengangkat Andi Faisal Bakti sebagai rektor UIN Makassar.
Kasus tersebut tidak terkait dengan PMA No. 68 karena saat itu (2014/2015) PMA tersebut belum terbentuk.