Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Seleb

Film Guru Bangsa Tjokroaminoto, Film Sejarah Edukatif yang Gampang-gampang Susah Dicerna

Meski ceritanya mudah-mudah sulit untuk dicerna, film ini fasih memberi gambaran sosok seorang Tjokroaminoto.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Film Guru Bangsa Tjokroaminoto, Film Sejarah Edukatif yang Gampang-gampang Susah Dicerna
Film Guru Bangsa: Tjokroaminoto 

TRIBUNNEWS.COM - Film Guru Bangsa Tjokroaminoto adalah kelindan fakta dan tafsir sejarah. Ada drama kehidupan, pergerakan sosial, dan cerita tentang sepenggal asal-usul sebuah bangsa.

Meski ceritanya mudah-mudah sulit untuk dicerna karena kalimat percakapan yang panjang, film ini fasih memberi gambaran sosok seorang Tjokroaminoto.

Seorang pelopor pergerakan dan guru yang melahirkan orang-orang yang kelak menjadi pemimpin bangsa. Film ini bagaikan lembar-lembar sejarah yang dituangkan menjadi serangkaian gambar hidup. Kisah kehidupan pribadi Tjokroaminoto yang selama ini hampir tidak pernah terpublikasi membuat cerita menjadi lebih humanis dan berwarna.

Sosok Tjokro, panggilan Tjokroaminoto (Reza Rahadian), keturunan ningrat yang peduli kepada rakyat jelata, dibangun sejak awal cerita.

Tjokro kecil digambarkan nakal dan pemberani. Ia membantu mengobati luka seorang anak yang disiksa majikan Belanda, membalas hinaan seorang anak Belanda yang memanggil ”monyet” kepada anak-anak pribumi, serta tidak segan membantah perkataan seorang guru Belanda.

Kegelisahannya terhadap nasib rakyat yang tertindas dan diperas dipicu pesan ayahnya yang mengutip perkataan Nabi Muhammad SAW untuk hijrah, berpindah dari tempat yang buruk ke tempat yang lebih baik.

Pesan ini mendorongnya pindah dari satu kota ke kota lain dan membawanya berkenalan pada pergerakan. Hingga tiba pada satu titik pemikiran, bangsa ini harus memiliki bentuk negara yang dipimpin sendiri.

Berita Rekomendasi

Meski setuju berpolitik untuk mencapai tujuan, Tjokro menghindari jalan kekerasan. Pikirannya modern dengan kaki yang menjejak bumi. Sikapnya moderat sehingga tak jarang dianggap lambat. Namun, Tjokro berhasil menghidupkan kembali ruh pergerakan melalui Sarekat Islam yang memiliki dua juta anggota dari total penduduk Jawa yang saat itu mencapai 30 juta orang. Organisasi modern yang dilengkapi koperasi dan surat kabar sendiri di tiap cabangnya. Idenya, politik dan ekonomi berdikari untuk mencapai tujuan bersama.

Di balik Tjokro, ada sosok Soeharsikin (Putri Ayudya), sang istri yang mendukung pemikirannya, terutama soal perjuangan tanpa kekerasan. Ia sepikiran dengan suaminya yang mengatakan, ”Tidak ada yang salah dengan pikiran-pikiran yang datang ke tanah ini. Yang bahaya adalah kekerasan-kekerasan yang menggerakkannya,” kata Tjokro.

Periode penting

Alur bergerak dalam perpaduan maju dan mundur dengan cerita dipilihkan dari periode-periode paling penting dalam kehidupan Tjokro.

Misalnya, tahun 1921 ketika Tjokro ditahan Belanda karena dituduh menjadi dalang kerusuhan di Garut yang kemudian tidak terbukti. Dari titik ini, cerita ditarik ke belakang ke masa Tjokro merintis keterlibatannya dalam pergerakan. Pokok-pokok pemikiran Tjokro terbaca jelas di tengah situasi zaman yang berubah saat itu.

Dalam gambar-gambar berwarna sephia, fakta demi fakta disusun lapis demi lapis menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul di awal cerita.

Misalnya, tentang sosok Stella (Chelsea Islan) yang bertanya, ”Kalau tanah ini punya pemerintahan sendiri, siapakah aku?”. Di tubuhnya mengalir darah campuran pribumi dan Belanda.

Beberapa tokoh fiksi ditambahkan pada film yang disutradarai Garin Nugroho ini, selain Stella ada Abdulah (Alex Abbad), dan Mbok Tun (Tunik).

Secara umum, menurut Garin, film ini adalah tentang tokoh sejarah dengan tafsir baru. ”Tokoh-tokoh tambahan itu untuk merepresentasikan kehidupan sosial pada masa itu,” kata Garin.

Selain menghadirkan para pemain muda berbakat dan pemain baru, film ini juga menghadirkan artis seperti Maia Estianty yang juga cicit dari HOS Tjokroaminoto dan Sudjiwo Tedjo. Film ini juga diwarnai pemain kawakan, seperti Christine Hakim dan Didi Petet, serta menjadi penampilan terakhir Alex Komang yang meninggal dunia belum lama ini.

Shooting digelar di beberapa kota, seperti Yogyakarta dan Semarang. Untuk latar cerita di Surabaya, digunakan studio buatan di Yogyakarta. Riset digelar dua tahun dengan proses pengambilan gambar satu bulan ditambah persiapan dua bulan. (SRI REJEKI)

Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas