Film Ini Kisah Tiga Dara Disebut Agresif, Nia Dinata: Saya Cuma Mau Realistis
Penayangan perdana film karya Nia Dinata (46), pendiri dan pemilik Kalyana Shira Film, meraih sukses di Tokyo, Sabtu (29/10/2016).
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Penayangan perdana film karya Nia Dinata (46), pendiri dan pemilik Kalyana Shira Film, meraih sukses di Tokyo, Sabtu (29/10/2016).
Namun isi film dengan aktivitas para wanitanya membuat Lembaga Sensor Film (LSF) mengkritik dengan kata "Agresif" sehingga film dilabeli untuk usia 21 tahun ke atas.
"Ah, itu berlebihan disebut agresif. Kita lihat realitas saja lah yang ada di masyarakat saat ini," kata Nia khusus kepada Tribunnews.com.
Menurutnya, apa yang dibuat dalam film "Ini Kisah Tiga Dara" adalah hal yang wajar dan menjadi realitas yang ada di masyarakat. Kisah tersebut juga biasa ditemui sehari-hari.
"Agresif itu kan tergantung persepsi masing-masing nggak bisa digeneralisir. Kenyataan atau realitas sekarang wanita-wanita Indonesia ada yang seperti itu, enerjik dan penuh semangat dalam kegiatan sehari-harinya untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik buat bangsa dan negara tentunya," kata Nia.
Nia juga menekankan bahwa dirinya hanya mau realistis saja dan tak mau yang dibuat aneh-aneh.
"Saya cuma mau realistis aja apa adanya. Capek deh munafik-munafik begitu," kata dia.
Dalam sebuah keterangan persnya bulan Maret tahun lalu Nia juga mengomentari soal Lembaga Sensor Film (LSF) yang menurutnya perlu direvolusi secara menyeluruh.
"Lembaga Sensor Film adalah warisan Orde Baru yang harus direvolusi mental secara total. Selain ideologinya yang represif, LSF sudah begitu lama menjadi sarang pungli. Setiap film yang disensor harus bayar. Hal ini berlaku berikut seluruh kopi yang jumlahnya bisa puluhan sampai ratusan untuk setiap film," kata Nia saat itu.
"Belum lagi seluruh materi promosi film juga harus disensor, termasuk poster, trailer film, dan sebagainya. Semua ada biayanya. Nanti ketika film akan dibuat DVD-nya, juga sensor ulang dan ada biaya lagi. Begitu juga ketika film ditayangkan di televisi, sensor ulang dan biaya lagi, lagi dan lagi," kata wanita kelahiran Jakarta, 4 Maret 1970 ini.
Nia menilai pungutan liar (pungli) dari sinetron dan program televisi juga tinggi lantaran harus disensor dan masuk dalam pengerjaan Lembaga Sensor Film.