Omicron di Indonesia Tembus 840 Kasus Dalam Sebulan, Kemenkes Akui Sulit Hindari Transmisi Lokal
Data Kemenkes menunjukkan kasus Omicronndonesia kian bertambah. Per 17 Januari 2022 ini kasus menjadi 840 orang.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, kasus Omicron di Indonesia kian bertambah.
Per 17 Januari 2022 ini kasus menjadi 840 orang.
"Sejak Omicron terdeteksi pada 15 Desember 2021 sampai 17 Januari 2022 sudah ada 840 kasus positif Omicron," kata Siti Nadia, dalam acara diskusi virtual vaksin Booster Hindari GelombangKetiga'", Selasa (18/1/2022).
Baca juga: Reaksi Jokowi karena Omicron Melonjak, Masyarakat Diimbau Terapkan Work From Home
Baca juga: WHO: Tidak Ada Bukti Anak-Anak dan Remaja yang Sehat Membutuhkan Booster Vaksin Covid-19
Ia mengatakan dari total tersebut, 609 kasus positif terjadi pada pelaku perjalanan dari luar negeri (PPLN), 174 kasus transmisi lokal, serta 57 kasus masih diteliti sumber penularannya.
Adapun kasus Omicron paling banyak terjadi pada pelaku perjalanan dari Arab Saudi (112 kasus).
Disusul Turki (106 kasus), Amerika Serikat (62 kasus), Malaysia (49 kasus), dan Uni Emirat Arab (45 kasus).
Ia pun merinci, dari 840 orang yang positif Omicron, sebanyak 79,1 persen telah mendapat suntikan dua dosis vaksin Covid-19.
Lalu, 4,2 persen mendapat vaksinasi dosis pertama, tujuh persen belum menjalani vaksinasi, serta
9,7 persen belum diketahui status vaksinasinya.
"Tentunya ini menjadi kewaspadaan kita orang yang sudah divaksin saja masih bisa terkena
Omicron, apalagi yang belum divaksin. Kita melihat orang yang sudah divaksin tertular Omicron gejalanya lebih ringan,"kata Siti Nadia.
Transmisi Lokal Sulit Dihindari
Pada kesempatan itu, Siti Nadia mengatakan, kenaikan kasus varian Omicron transmisi lokal tidak dapat dihindari.
Berbeda halnya dengan kasus impor dari luar negeri, ada sejumlah aturan yang diberlakukan seperti melakukan tes RT-PCR, karantina dan isolasi sehingga kasus bisa ditemukan.
"Kita tidak menghindar dari transmisi lokal, yang bisa itu membatasi kasus impor sehingga bisa terkendali dan memberikan waktu kepada kita menyiapkan dan mengendalikan penyebarannya,"kata Siti Nadia melalui pesan singkatnya kepada Tribunnews.com, Selasa (18/1/2022).
Hal senada juga diungkap Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith
University, Australia, Dicky Budiman.
Ia mengatakan, tak hanya di Indonesia yang sulit mencegah penularan kasus transmisi lokal ini,
negara maju pun mengalami hal serupa.
"Memang kesulitan dan negara maju pun sulit mencegah ini karena mayoritas 90 persen tidak
bergejala dan tidak terdeteksi. Orang tidak merasa, enggak sakit, ditambah lagi kemampuan
mendeteksi kita terbatas. 3 T Indonesia terbatas menurut saya relatif rendah di ASEAN," katanya kepada Tribunnews.com.
Selain itu, varian omicron memiliki tingkat penularan empat kali lebih cepat, sehingga bisa saja ada
kasus impor yang tidak terdeteksi sebelumnya.
"Karena tidak kuatnya karantina kita sebelumnya kurang dari 7 hari. Kemudian juga kita tahu bahwa
masa inkubasi dari Omicron ini bukan selalu semua di bawah 7 hari bahkan ada di atas 10 hari
bahkan yang sampai menjelang 2 bulan,"kata Dicky.
"Artinya ya potensi itu masuk dan beredar di domestik menjadi besar dan tinggal menunggu waktu
dan sekarang dengan sudah terdeteksi kasus di transmisi lokal ini perkara waktu untuk Omicron
berkembang bertumbuh lebih banyak dengan pola eksponensial itu," katanya.
Seperti diberitakan, kasus pertama varian Omicron transmisi lokal diumumkan pada 28 Desember
2021. Pria asal Medan (37) terkonfirmasi positif Omicron dan langsung diisolasi.
(Tribunnews.com/Rina Ayu/sam)