Disinformasi Soal Paris Fashion Week, Pakar Komunikasi UNAIR: Brand Harus Mengerti Etika
Heboh sejumlah brand lokal Indonesia mengklaim mengikuti ajang Paris Fashion Week 2022. Padahal, ajang yang mereka ikuti adalah Paris Fashion Show.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sempat heboh sejumlah brand lokal Indonesia mengklaim mengikuti ajang Paris Fashion Week 2022.
Pakar komunikasi branding asal Universitas Airlangga (UNAIR), Dina Septiani BComm MComn PhD angkat bicara soal peristiwa itu.
Menurut dia, cara tersebut untuk memperkuat positioning sekaligus meningkatkan engagement.
“Relevan dengan pencitraan merek, tujuan sebenarnya adalah agar bisa dilihat dan dibicarakan oleh kita. Sekaligus menempatkan brand mereka di kancah internasional, utamanya agar dilihat oleh reseller dan konsumen mereka,” sebutnya dikutip Rabu (23/3/2022).
Baca juga: Sempat Heboh di Indonesia, Pihak Paris Fashion Week Kini Tegas Peringatkan soal Pencurian Identitas
Baca juga: Heboh Brand Indonesia Boyong Ariel NOAH Klaim Ikut Paris Fashion Week, Begini Jawaban Sandiaga Uno
Dosen Ilmu Komunikasi UNAIR ini menilai dengan memboyong banyak selebgram ternama, metode itu cukup berhasil meningkatkan engagement brand-brand tersebut di media sosial.
“Mereka ingin menciptakan adanya word of mouth, memberitahu follower brand dan brand ambassador yang ikut ke Paris, bahwa mereka sebagai brand Indonesia bisa loh ke Paris, terlepas itu PFW resmi atau tidak,” katanya.
Mengenai pembodohan konsumen Dina menyampaikan, adanya ketidaksesuaian etika dalam komunikasi.
“Brand harus dapat memahami batasan etika pemasaran, jika tidak benar maka jangan disampaikan. Tapi kalau ada kesalahpahaman, mari kita lihat apa tindakan yang akan dilakukan brand, apakah meminta maaf atau tidak,” jelasnya.
Baca juga: Heboh Brand Indonesia Klaim Ikuti Paris Fashion Week, Begini Penjelasan Gekrafs
Sebuah brand yang ingin menempatkan positioning, harus mengerti cara dan etikanya.
Pakar komunikasi bidang korporat ini menyebutkan, perlakuan yang tidak sesuai justru malah terkesan mengglorifikasi hal-hal yang tidak perlu.
Meski tidak dapat dibenarkan secara etika Dina menyebutkan, prestasi yang dilakukan brand-brand tersebut patut diapresiasi.
“Saya salut, model bisnis mereka mampu bertahan hingga hari ini, dan memberikan kontribusi positif pada negeri paling tidak dalam menyerap tenaga kerja. Mereka punya keinginan untuk mengembangkan brand asli Indonesia,” ujarnya.
Brand harus memahami, media sosial terus memacu penampilan yang terbaik, jika tidak justru akan melanggar etika pemasaran.
“Pencitraan merek itu perlu, memperkuat positioning di mata audiens itu perlu namun harus paham batasannya. Jangan sampai mengglorifikasi dan akhirnya malah menjatuhkan citra brand,” sebutnya.