Kisah Supriyatna, Petenis Meja Difabel yang Mengharumkan Nama Bangsa di Para Games VII
Pada ASEAN Para Games VII yang digelar di Myanmar, Januari 2014 silam, Supriyatna menyumbangkan tiga medali emas di semua nomor
Penulis: Deodatus Pradipto
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Deodatus S. Pradipto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jangan pernah meremehkan orang difabel. Meski mengalami keterbatasan fisik, orang difabel tetap mampu meraih prestasi, khususnya di bidang olahraga. Petenis meja Indonesia, Supriyatna Gumilar contohnya.
Pria asal Ciamis ini mengalami disabilitas pada tangan kanan dan kaki kanannya. Meski kondisi fisiknya sedemikian rupa, Supriyatna mampu mengharumkan Indonesia di kancah internasional.
Pada ASEAN Para Games VII yang digelar di Myanmar, Januari 2014 silam, Supriyatna menyumbangkan tiga medali emas di nomor ganda, tunggal, dan tim. Kontingen Indonesia keluar sebagai juara umum dengan total medali mencapai 217 buah. Di antaranya 99 emas, 69 perak, dan 49 perunggu.
Supriyatna mengalami keterbatasan fisik sejak lahir, namun hal itu tidak mengurungkan ketertarikan dia kepada dunia olahraga. Sewaktu kecil Supriyatna kerap bermain sepak bola, namun keterbatasan fisik membuat kedua orangtuanya berpendapat lain.
“Yang pertama kali memperkenalkan tenis meja adalah orangtua. Dulu orangtua sering melihat saya bermain bola. Dengan keadaan saya seperti ini mereka mengarahkan saya ke tenis meja. Orangtua kemudian membelikan saya peralatan tenis meja agar saya tidak main sepak bola lagi,” ungkap Supriyatna kepada Tribunnews.com, Senin (7/4/2014).
Sejak duduk di kelas 5 SD Supriyatna mulai mempelajari tenis meja. Biasanya Supriyatna berlatih sepulang sekolah. Bakat besar Supriyatna kemudian tercium oleh pemerintah kabupaten Ciamis. Sejak 2002 Supriyatna menjadi petenis meja profesional.
Perjalanan Supriyatna untuk menjadi seorang petenis meja tidak mudah. Dia mengaku keterbatasan fisik membuat dia menemui sejumlah kendala. “Kalau berlari saya sering merasa sakit pada kaki saya. Itu harus diasah agar kita mampu bertahan,” tutur pria berambut pendek itu.
Atas prestasinya di Myanmar, Supriyatna mendapat bonus berupa uang sebesar Rp 25 juta dari pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga. Supriyatna bersama Setyo Budi Hartono (atletik) dan Tati Karhati (catur) menjadi tiga atlet difabel yang mendapat penghargaan.
“Dulu saya memang pernah merasa minder terhadap teman-teman, tapi dengan adanya prestasi-prestasi ini rasa minder itu hilang semua. Soalnya saya mampu melebihi orang-orang di sekitar saya,” kata Supriyatna dengan logat Sunda.
Dari prestasinya itu Supriyatna berharap penyandang disabilitas tetap memiliki tekad untuk berprestasi. Supriyatna menyarankan mereka untuk mengasah kemampuan mereka sejak kecil. Menurut Supriytana jika kemampuan itu baru dilatih ketika sudah besar, maka atlet difabel akan sulit berprestasi mengingat persaingan yang ketat.
Supriyatna juga menyarankan kepada orangtua yang anaknya difabel untuk memberikan dukungan maksimal. Supriyatna mengatakan apapun kesukaan anak, orangtua harus mengasah anak. Menurut Supriyatna, jika hal itu diasah maka otomatis mengubah hidup anak.
“Melalui olahraga kita jadi bisa bersosialisasi dan percaya diri. Saya sendiri contohnya. Kita harus bersyukur bisa lebih dari orang lain,” kata Supriyatna.