Matinya Seorang Filsuf Sepak Bola 'Posmo'
Tatkala Barcelona berupaya mengulang ekspedisi penaklukkan seperti musim lalu, berita duka justru menyeruak: sang maha guru, Johan Cruyff, wafat.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM - Tatkala Barcelona—dengan penuh gaya—berupaya mengulang ekspedisi penaklukkan tanah Spanyol serta menundukkan jagat Eropa seperti musim lalu, berita duka justru menyeruak: sang maha guru, Johan Cruyff, wafat.
Cruyff yang lahir di Amsterdam, Belanda, (25 April 1947), dikenal sebagai sosok revolusioner di daerah penuh sengketa, Catalonia. Ide-idenya, dinilai sebagai pembaru dan mampu meletakkan dasar filosofis bagi Barcelona, klub kebanggaan warga Catalunya, sehingga bisa dipenuhi prestasi seperti saat ini.
"Bisakah kita memahami gaya permainan Barcelona tanpa Cruyff? Tidak mungkin! Meski kami memiliki pemain seperti Messi, Xavi dan Iniesta, mereka sangat lekat dengan gagasan yang dicetuskan oleh Cruyff," begitu testimoni Pep Guardiola mengenai peran penting Cruyff, kepada Footbal-Oranje.
Sepak Bola Postmodern
Mulai dari Guardiola, Xavi, Iniesta, hingga Lionel Messi, diam-diam ataupun blakblakan, menyatakan berutang budi kepada Cruyff, sehingga mampu menjelma sebagai bintang lapangan plus idola dunia.
Sebab, tanpa Cruyff yang memiliki filosofi berbeda dari manajer-manajer sepak bola pada eranya, Guardiola hingga Messi tak bakalan mampu masuk gelanggang tanpa menundukkan kepala.
Cruyff, sejak menjadi manajer tahun 1985 (-1988; Ajax Armsterdam) hingga menukangi Balugrana mulai 1988, memiliki prinsip unik yang melampaui pemikiran sezamannya: pesepakbola mahir, bukan ditentukan oleh tinggi badan tapi penguasaan filosofi dan teknik.
Sang meneer, bisa dikatakan sebagai filsuf postmodern yang ingin selalu tampil sebagai penggugat, bahkan pendobrak "rezim kepastian".
Selain mengenai postur tubuh, Cruyff juga menggugat postulat sepak bola bahwa setiap klub yang ingin menjadi jawara haruslah fokus pada struktur pertahanan yang berlapis.
Alhasil, Cruyff menilai sepak bola modern saat itu sangat membosankan karena hanya terpaku pada bagaimana bertahan secara baik, dengan sesekali melancarkan serangan balik.
Ia kemudian membalik prinsip tersebut dengan menyebut, "dalam timku, penjaga gawang adalah penyerang pertama dan striker adalah pertahanan pertama."
Cruyff juga tak menyukai permainan sepak bola yang disesaki aksi-aksi individual dari pemain-pemain berteknik tinggi.
Menurutnya—seperti yang nantinya diteruskan Guardiola—memiliki pemain berteknik tinggi bukan penentu kemenangan, melainkan bagaimana seluruh skuat bermain kolektif.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.