''Tolong Jangan Sadarkan, Kami Sedang Mabuk Cinta''
Seorang lelaki bernama Aki Jonsson, pergi tidur dengan perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Sabtu, 27 Juni 2016, menjadi malam yang intim
“Untuk apa saya duduk di sana dan menonton pertandingan sambil minum sampanye. Saya bisa melakukan itu kapan saja dan di mana saja. Masih banyak waktu. Tidak, tidak, saya akan datang dengan kostum tim nasional kami. Dan sepanjang pertandingan, saya akan berdiri di tengah-tengah rakyat saya. Kami akan sama-sama berteriak untuk para pahlawan bangsa. Saya sudah sampaikan kepada Tuan Presiden (Francois Hollande) dan beliau memahami keputusan ini,” ujarnya.
Begitulah, kebahagiaan sekarang memang merebak ke seluruh penjuru Islandia, negeri es yang nyaris sepanjang tahun dikepung kebekuan. Siapapun merasakan hal yang sama. Dari presiden hingga warga biasa. Namun meski mengaku mabuk dan tenggelam dalam ketidaksadaran yang menghangatkan, mereka sebenarnya tetap memahami realitas. Tuhan menurunkan mukjizat. Tuhan merestui keajaiban. Tapi keduanya tidak hadir sesering tiupan angin.
Dibandingkan Inggris, jelas-jelas Perancis lebih memiliki daya pukul. Kuat dan kokoh di semua lini, dari bawah mistar hingga lini serang. Friksi yang sempat mengapung terkait Karim Benzema dan Hatem Ben Arfa sudah mulai dilupa seiring performa fantastis Antoine Greizman.
Perancis juga sedang dilambungkan oleh semangat deja vu –sesuatu: hal, perkara, peristiwa, yang sebelumnya sudah pernah terjadi dan (seolah-olah) kini terulang. Tahun 1998, juga saat bertindak sebagai tuan rumah, Perancis meraih gelar juara Piala Dunia. Jadi, deja vu ini pada dasarnya harapan juga. Pertanyaannya, mungkinkah terwujud?
“Kami sudah sampai di perempatfinal, tinggal dua langkah lagi. Ada Islandia, lalu kemudian Jerman atau Italia. Bukan jalan yang mulus, tentunya. Islandia sama sekali tidak bisa dipandang remeh. Kesebelasan yang bisa sampai ke perempatfinal kejuaraan sebesar Euro adalah kesebelasan yang hebat,” kata bek Perancis, Patrice Evra.
Ada nada diplomatis di sana. Barangkali juga kewaspadaan. Tapi pastinya, bukan merendah. Sama sekali tidak. Evra mungkin menempatkan Inggris sebagai cerminan. Sebobrok-bobroknya dan sekacau-kacaunya, Inggris tetaplah tim besar. Sekadar nama saja biasanya sudah mustajab, merupakan modal yang membuat lawan gemetar.
Islandia mampu mengacuhkan kecenderungan ini. Mereka masuk lapangan dengan gagah dan menganggap tiga singa raksasa selevel belaka, dan hasilnya –kita sama- sama tahu– sangat menakjubkan. Dan memang tak ada alasan untuk tidak memperlakukan Perancis dengan cara yang sama.
@T_Agus_Khaidir