Mantan Pemain Nasional dan Legenda Sepakbola Indonesia Prihatin Kondisi Pelatih di Indonesia
Beberapa mantan pemain nasional dan legenda sepak bola Indonesia pada Kamis (30/5/2019) menggelar acara berbuka puasa bersama.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, SERPONG - Beberapa mantan pemain nasional dan legenda sepakbola Indonesia yang tergabung dalam Indonesia Football Ambassador (IFA) itu bertemu melepas kangen sekaligus berbuka puasa bersama di Green Resto, BSD, Tangerang Selatan, Kamis (30/5/2019).
Pemain dari beberapa Generasi tampak hadir dalam acara tersebut. Mulai dari Tan Liong Ho atau LH Tanoto yang pernah tampil bersama Timnas di Olimpiade Melbourne tahun 1956, kemudian Bob Hippi, anggota timnas tahun 1962.
Selain itu ada striker timnas era 1970-an Risdianto, hingga pemain era 1990-an seperti Rochy Putiray.
Pertemuan ini juga menjadi ajang keluh kesah atau “curhat” para mantan pemain nasional atas kondisi sepak bola nasional saat ini. Salah satu materi yang dikeluhkan adalah Persoalan kondisi pelatih di Indonesia.
Hal ini dipicu dengan kondisi klub-klub di Liga 1 yang terlihat lebih banyak memanfaatkan pelatih asing dibandingkan pelatih lokal.
Masalah sertifikasi atau lisensi sejumlah pelatih asing di klub-klub pro Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang dianggap krusial.
Pasalnya kejelasan lisensi para pelatih tersebut, terutama yang berasal dari Brasil banyak dipertanyakan.
“Bagaimana mungkin pelatih asal Brasil yang tidak punya lisensi pro, ketika diharuskan memiliki lisensi pro, mereka pulang ke negaranya, kemudian seminggu lagi balik ke Indonesia dan sudah mengantungi lisensi pelatih pro,” ungkap Bambang Nurdiansyah, salah satu instruktur pelatih AFC yang dimiliki Indonesia.
Bambang yang juga mantan striker timnas ini mempertanyakan keseriusan PSSI dalam memberikan kesempatan kepada pelatih local untuk berkembang.
“Saya dulu, bersama pelatih lain seperti Aji Santoso, Widodo C. Putro, dan lain-lain mengambil lisensi pelatih A Pro dari AFC butuh waktu yang tidak singkat, sekitar satu tahun empat bulan dengan biaya sendiri dalam kursus hingga 250 juta rupiah,” kata Bambang.
Namun pelatih dari Brasil bisa dengan leluasa masuk bursa pelatih di Indonesia.
“Saat kami tanyakan hal ini ke PSSI, kala itu Joko Driyono, (ketua umum PSSI), tak bisa berbuat banyak. Alasannya lisensi para pelatih Brasil itu diberikan oleh negara yang sudah lima kali juara dunia,” kata Bambang.
Menurut Bambang permasalahan sebenarnya bukan di situ. Namun dari sisi lisensi mereka jelas-jelas dipertanyakan. Hal ini telah menghilangkan kesempatan bagi pelatih lokal untuk melatih klub-klub di Liga 1 yang bergengsi.
Dede Sulaiman, mantan sayap kanan timnas Indonesia menyoroti lemahnya PSSI dalam menyikapi permasalahan pelatih itu.