Kenapa Bima Sakti Blunder Lupa Pentingnya Rotasi Pemain
Tidak menduga kekalahan Indonesia sedemikian besar, 1 - 5. Saya tak membayangkan Indonesia bakal “dicukur” dan “dihina habis” di kandang sendiri.
Editor: cecep burdansyah
Bima Sakti menyesali keputusannya karena seharusnya ia mengistirahatkan pemain-pemain utama tersebut sehingga memiliki cukup kekuatan sampai laga terakhir melawan Malaysia. Digunduli Malaysia dengan selisih 4 gol membuat kesebelasan U17 Indonesia terlempar dari persaingan tingkat Asia lantaran kalah selisih gol dengan runner up lainnya.
Kesalahan fatal yang dilakukan Bima Sakti ada dua. Pertama, dia harusnya memahami benar aturan yang berlaku, selisih gol dengan peringkat buncit (kelima) dan keempat tidak dihitung.
Berapa pun selisih golnya diabaikan. Oleh sebab itu setelah memang 14 - 0 atas Guam, seharusnya sebagian pemain inti ditarik atau diganti. Kita tak perlu menang besar lawan Guam. Sekedar memetik tiga angka sudah cukup. Bukanah berapaun kemenangan kita selisih gol tidak bakal dihitung. Dan kita dapat memprediksi Guam akan berada pada peringkat paling bawah. Jadi tak perlu ngotot. Jadi sebagian pemain inti harus diistirahatkan atau dirotasi, hal yang tidak dilakukan oleh Bima Sakti.
Kedua, lawan Palestina pun Bima Sakti masih “memaksakan” pemain inti turun. Seharusnya Bima Sakti sudah menurunkan sebagian besar pemain lapisan keduanya, termasuk kiper. Setidaknya ada tiga alasan untuk itu.
Pertama, untuk menjaga kebugaran pemain inti. Anak-anak usia 17 tahun tidak mungkin sanggup bermain setiap dua hari sekali dalam lebih dari dua pertandingan. Bima Sakti faham soal ini, namun digamang menerapkannya.
Dalam pertandingan lawan Palestina sudah kentara sekali “bensin” pemain inti sudah habis. Fisik mereka sudah keteteran. Masih untumh kita dapat memang 2-0, karena beberapa serangan Palestina belum berhasil membobol gawan kita, termasuk tendangan pinalti mereka.
Jika lawan Palestina saja stamina pemain Indoensia sudah hilang, apalagi dalam pertandingan berikutnya melawan Malaysia. Dan itulah yang terjadi, pemain kita sebagian besar, terutama pemain belakang, tak lagi memiliki kekuataan beradu dengan pemain-pemain Malaysia.
Kedua, rotasi pemain inti ke banch sekaligus untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada pemain inti. Misal kena kartu merah atau kuning kedua. Juga untuk menghindari cidera menerpa mereka.
Pilihan Bima Sakti yang memaksakan pemain inti tetap turun membuahkan malapetaka. Pemain kapten kesebelasan Indonesia Iqbal Gwijangge kena kartu kuning kedua dan tidak boleh tampil lawan Malaysia. Kendati Bima Sakti menegaskan tak ada Bintang dalam kesebelasan Indonesia, namun ketidakhadiran Iqbal Gwijangge jelas membawa dampai buruk bagi kesebelasan Indonesia.
Alasan ketiga, Indonesia perlu menjajal kualitas pemain cadangan. Hal lain juga guna memberikan jam terbang kepada mereka. Dari sana kita dapat melihat bagaimana penampilan lapis kedua, apakah mereka punya perbedaan yang mencolok dengan pemain utama, ataukah kualitasnya agak jauh berbeda.
Jika lapisan kedua bermain baik, Bima Sakti bisa menyimpan para pemain intinya. Namun jika para pemain lapis kedua terlihat mengkhawatirkan barulah Bima Sakti punya alasan menurun mereka agar tetap memperoleh point penuh.
Gemerlap Kemenangan
Dalam sebuah turnamen, termasuk kualifikasi yang diikuti oleh beberapa kesebelasan, Bima Sakti sangat faham, yang penting buka. Menang “peperangan” tetapi menang dalam “pertempuran.” Artinya yang penting hasil akhir ketimbang hasil-hasil pertandingan.
Malaysia dipaksa bermain 1-1 lawan Guam, kesebelasan kita bantai 14-0. Indonesia sudah menang perang, tapi belum menang pertempuran. Justeru di ronde terakhir Malaysia menggasak dan mempermalukan Indonesia 5-1, sekaligus memenangkan pertempuran dan lolos ke Piala U17 Asia.
Nasib tragis sebaliknya dialami Indonesia, kekalahan besar lawan Malaysia langsung memastikan Indonesia tidak lolos. Indonesia kalah pertempuran!