SoftBank Selesai Akuisisi ARM Rp 407 Triliun
"Seluruh aset dan saham ARM akan masuk ke SoftBank Group"
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perusahaan telekomunikasi Jepang, SoftBank Group, akhirnya menyelesaikan proses akuisisi perusahaan semikonduktor mobile, ARM, Selasa (6/9/2016).
Kesepakatan bisnis dua perusahaan itu mencatat rekor sebagai akuisisi terbesar yang pernah ada di Inggris. Nilainya tak tanggung-tanggung, mencapai 31 miliar dollar AS atau setara Rp 407 triliun.
Dengan ini, maka saham ARM resmi dilengserkan dari daftar Bursa Efek London alias LSE, sebagaimana dilaporkan Techcrunch dan dihimpun KompasTekno.
"Seluruh aset dan saham ARM akan masuk ke SoftBank Group," begitu tertera pada pernyataan resmi dari Softbank.
SoftBank sendiri punya alasan kuat berani menggelontorkan dana besar untuk mencaplok ARM. Perusahaan penyedia internet pita lebar tersebut ingin mengembangkan Internet of Things alias IoT.
Dengan teknologi semikonduktor yang dikembangkan ARM, SoftBank yakin bisa menciptakan inovasi signifikan untuk ekosistem IoT yang diperkirakan bakal marak pada 2020 mendatang.
ARM selama ini dikenal sebagai pembuat "otak" dari iPhone dan smartphone Android berbasis Qualcomm Snapdragon, Mediatek, dan Samsung Exynos.
Sejak beberapa tahun lalu, ARM pelan-pelan sudah mengembangkan "otak" untuk perangkat-perangkat IoT. Hitungan bisnis ARM dengan menjual sahamnya bisa dibilang cerdas, mengingat saat ini pertumbuhan penjualan smartphone cenderung datar.
Beberapa pengamat teknologi mengatakan masyarakat mulai jenuh dengan teknologi yang mereka genggam saat ini dan ingin sesuatu yang lebih canggih dan cerdas. Barangkali inovasi IoT merupakan jawabannya.
Ke depan, kesuksesan ARM pada industri smartphone diharapkan bisa terulang pada industri IoT. Setidaknya ARM sudah selangkah lebih maju dengan menjadi pemain awal.
Kini, di tengah pengembangannya, ARM toh bersedia dimiliki seutuhnya oleh SoftBank. Akankah dua raksasa itu akan mendominasi industri IoT masa depan? Belum ada yang bisa memastikan.
Penulis: Fatimah Kartini Bohang
Sumber: TechCrunch