Menguji Kebenaran Berita
Kami mengawali upaya kami untuk menangani misinformasi dalam bentuk artikel karena berita palsu seperti inilah yang paling sering dilihat publik.
Editor: Content Writer
Perbedaan lainnya adalah lanskap media serta tingkat literasi yang memengaruhi bagaimana misinformasi foto dan video juga ditafsirkan. Di negara-negara dengan ekosistem media yang kurang berkembang atau tingkat literasi rendah, pengguna mungkin lebih mudah percaya saat melihat headline yang salah pada sebuah foto, atau melihat foto yang dimanipulasi, dan menganggap apa yang mereka lihat sebagai berita.
Sedangkan untuk negara-negara yang ekosistem beritanya lebih kuat, konten yang diyakini sebagai sebuah “berita” akan berbentuk artikel.
Dapatkah Anda menggunakan teknologi yang sama untuk menemukan berbagai tipe misinformasi yang berbeda?
Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Saat kami menangani misinformasi, kami menggabungkan kemampuan teknologi dan tinjauan manusia bekerja sama dengan third-party-fact-checker.
Untuk penanganan misinformasi pada sebuah artikel, langkah pertama adalah memprediksi artikel mana yang mungkin mengandung misinformasi menggunakan teknologi yang kami miliki dan memprioritaskan artikel tersebut agar bisa ditinjau fact-checker. Langkah kedua, setelah mendapatkan penilaian dari fact-checker, kami kembali menggunakan teknologi untuk menemukan duplikasi konten.
Misalnya ketika seorang fact checker dari Prancis berhasil membongkar klaim bahwa orang yang terkena serangan jantung bisa diselamatkan dengan menusukkan jarum ke jari penderita untuk mengeluarkan darahnya.
Setelah klaim ini terbukti salah, maka kami pun dengan mudah mengidentifikasi lebih dari 20 domain dan 1.400 link yang menyebarkan klaim tersebut. Kami pun mengaplikasikan teknologi yang sama untuk mengidentifikasi duplikat dari foto dan video yang telah terbongkar kesalahannya oleh fact-checker sehingga hasil penilaian mitra fact-checker kami ini bisa dioptimalkan lebih jauh.
Meskipun ada beberapa kesamaan dalam hal penggunaan teknologi, kami menggunakan pendekatan yang berbeda ketika kami mengidentifikasi artikel dibandingkan foto dan video.
Saatnya membahas fase pertama: menggunakan teknologi untuk memprediksi konten yang mungkin salah
Saat kami memprediksi artikel yang mungkin mengandung misinformasi, kami menggunakan beberapa sinyal seperti masukan dari komunitas kami tentang tautan berita palsu yang mereka lihat.
Kami lalu melihat apakah komentar pada postingan menyertakan frasa yang menunjukkan pembaca meragukan kebenaran isi kontennya. Kami juga melihat apakah Halaman yang memposting konten tersebut memiliki riwayat pernah membagikan informasi yang dinilai keliru oleh fact-checker. Sinyal seperti ini berlaku untuk artikel, foto, dan video.
Semua kegiatan yang telah kami lakukan untuk memprediksi tautan berita yang mengandung misinformasi juga membantu dalam proses peninjauan foto dan video. Namun, tetap ada beberapa perbedaan.
Ketika kami membicarakan tentang misinformasi dalam sebuah foto dan video, kami membagi hal tersebut menjadi tiga kategori: foto manipulasi, konten yang tidak sesuai konteks peristiwa sebenarnya, atau audio dan teks palsu.
Mari kita bahas satu per satu. Manipulasi: Anda mungkin memiliki sebuah foto yang telah dimanipulasi dimana foto tersebut menampilkan seseorang yang sebenarnya tidak pernah ada di foto tersebut. Atau pada foto tersebut seseorang yang sedang memegang sesuatu bisa dimanipulasi agar terlihat seakan sedang memegang benda lainnya.
Pernah lihat foto manipulasi seekor ikan hiu berenang di jalan raya?