Menguji Kebenaran Berita
Kami mengawali upaya kami untuk menangani misinformasi dalam bentuk artikel karena berita palsu seperti inilah yang paling sering dilihat publik.
Editor: Content Writer
Ini merupakan contoh bagus dari manipulasi foto. Untuk video yang dimanipulasi, istilah "deepfakes" atau “teknik pengeditan video” adalah hal yang sering dibicarakan orang seputar misinformasi. Anda bisa mengedit video seorang figur publik agar terlihat seakan-akan mulutnya bergerak menyampaikan hal yang sebenarnya tidak pernah mereka ucapkan dengan suara yang mirip suara mereka. Inilah yang kami klasifikasi sebagai konten media yang dimanipulasi.
Kategori kedua adalah konten yang tidak sesuai konteks peristiwa sebenarnya. Misalnya sebuah foto konflik yang dibagikan dengan cara tertentu untuk menunjukkan seakan-akan konflik tersebut terjadi di waktu dan tempat yang berbeda. Sama halnya dengan video.
Kategori ketiga adalah audio atau teks palsu. Seperti halnya judul atau teks palsu bisa disematkan ke dalam artikel, hal yang sama juga bisa dilakukan dengan menyematkan teks palsu ke sebuah foto atau dengan menambahkan audio palsu ke video. Sehingga orang pun bisa dengan mudah membuat klaim palsu dengan menambahkan caption ke sebuah foto dan menambahkan audio palsu ke video.
Itulah ketiga kategori dari konten media palsu. Kami dapat menggunakan teknologi untuk memprediksi setiap kategori tersebut dengan cara yang berbeda, dan kami masih terus mengembangkan kemampuan kami untuk melakukan hal tersebut.
Apakah teknologi untuk memprediksi misinformasi sesuai kategori di atas akan ada dalam waktu dekat?
Sejauh ini, sudah ada kemajuan dalam upaya kami meningkatkan kemampuan mengidentifikasi elemen apa saja yang telah dimanipulasi. Tetapi untuk menentukan apakah foto atau video hasil manipulasi merupakan bagian dari misinformasi lebih sulit dilakukan karena hasil manipulasi tidak selamanya buruk.
Lagi pula, kami juga menawarkan filter di Facebook Stories dan dalam beberapa hal ini juga bisa dianggap sebagai bentuk manipulasi. Tentu ini bukanlah sasaran utama dari upaya pemeriksaan fakta kami. Beruntung kami telah mampu mengidentifikasi jenis manipulasi dalam foto yang bisa digunakan untuk memberikan sinyal kepada fact-checker bahwa foto tersebut perlu diperiksa lebih jauh.
Terkait dengan pemahaman tentang konteks, kami telah berinvestasi untuk bisa mendeteksi misinformasi yang mengandung kesalahan konteks tapi masih banyak yang harus kami lakukan. Karena untuk bisa mendeteksi kesalahan konteks, beberapa hal perlu menjadi bahan pertimbangan yaitu konteks asli dari media tersebut, konteks yang ingin ditampilkan dari konten palsu tersebut dan perbedaan dari kedua konteks ini.
Untuk meninjau sebuah foto perang misalnya, kami harus mencari tahu sumber fotonya, dan kemudian menilai apakah konteks tersebut sudah ditampilkan secara akurat melalui status yang kini tersebar bersama dengan foto tersebut. Untuk melakukan ini, kami masih membutuhkan tenaga manusia. Karena itulah kami mengandalkan keahlian jurnalistik dan kemampuan memahami situasi dari fact-checkers.
Untuk foto maupun video yang mengandung klaim palsu terkait teks atau audionya, kami bisa mengekstrak bagian teksnya dengan menggunakan optical character recognition (OCR) atau transkrip audio, dan melihat apakah teks tersebut sama dengan klaim palsu yang telah ditemukan fact-checker sebelumnbya.
Jika sama, kami akan mengirimkan foto atau video tersebut kepada fact-checker untuk diverifikasi lebih jauh. Sejauh ini, kemampuan OCR kami untuk meneliti foto lebih canggih dibanding kemampuan kami meneliti video menggunakan transkrip audio.
Lalu bagaimana dengan menemukan duplikat dari klaim palsu?
Anda bisa dengan mudah menemukan duplikat dari sebuah artikel melalui teknik pengolahan bahasa alami atau natural language processing, yang merupakan sebuah teknik machine learning yang dapat digunakan untuk menemukan duplikat teks dengan sedikit variasi.
Untuk foto, kami cukup mampu menemukan duplikat yang sama persis. Tapi seringkali ada bagian dari foto yang ditambahkan sedikit untuk membuatnya jadi lebih kompleks dari sebelumnya. Semakin berbeda sebuah foto dari aslinya, semakin sulit bagi kami untuk mendeteksi dan mengambil tindakan lebih lanjut atas foto duplikat tersebut. Karena itu, penting bagi kami untuk terus berinvestasi dalam teknologi yang akan membantu kita mengidentifikasi duplikat yang telah mengalami perubahan-perubahan kecil.(*)