Saat Krisis, Fokus Ke Bisnis Inti Harus Dilakukan
Beruntung bagi startup yang bisnis intinya tidak terdampak signifikan oleh pandemi Covid-19
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - andemi Covid-19 memaksa mayoritas perusahaan rintisan (startup) global termasuk di Indonesia kembali ke bisnis inti (refocusing).
Lini bisnis yang semula bagian dari inovasi dalam fase pengembangan harus tereliminasi agar perusahaan bisa bertahan secara jangka panjang.
”Semua perusahaan pasti akan lebih fokus dan memutar kembali arah layar besarnya ke bisnis utama (core business)nya.
Lini bisnis yang bukan inti akan dikurangi dan bahkan dihilangkan,” ungkap Pakar Ekonomi Digital dan Executive Chairman Digital Banking Institute, Bari Arijono, hari ini.
Beruntung bagi startup yang bisnis intinya tidak terdampak signifikan oleh pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung dan belum ada kepastian ke depannya hingga saat ini.
Baca: Startup Punya Peluang Masuk Ke Industri Farmasi di Masa Pandemi Ini
Baca: 89 Persen Pelatihan Prakerja Tak Berbayar, Kemitraan Startup Disebut Sarat Konflik Kepentingan
Baca: Lawan Corona, Startup Perikanan Ini Galang Dana untuk Pembudidaya Ikan, UMKM, dan Tenaga Medis
Perusahaan seperti ini menurutnya tidak terlalu “berdarah-darah” walaupun tetap akan melakukan rasionalisasi dengan cara meninggalkan lini bisnis non inti.
Sebaliknya, perjuangan berat harus dihadapi oleh startup yang bisnis intinya sangat terdampak Covid-19.
Misalnya di bidang pariwisata dan perhotelan seperti Traveloka salah satunya yang terpaksa mengurangi sekitar 10 persen karyawannya.
”Industri pariwisata terkena pasti. Alhasil Traveloka, Tiket, dan Booking terdampak besar.
Mereka butuh recovery lama, bahkan perkiraan saya sampai akhir tahun mereka masih rasionalisasi,” ujar Bari.
Meski begitu, kata Bari, Traveloka dan kawan-kawan pun akan tetap melakukan refocusing.
Bertahan di bisnis inti dan mengurangi beban pada bisnis lain yang termasuk dalam kategori non-inti.
”Pengurangan karyawan tak bisa dihindari dan akan efisiensi di sisi operasional. Misalnya punya kantor di Bali, Bandung, atau tempat lain akan tidak lakukan,” terusnya.
Bukan hanya startup, efisiensi dan segala bentuk rasionalisasi juga dilakukan perusahaan yang sudah eksis sejak lama. Tidak terkecuali korporasi berskala besar.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan kondisi pemutusan karyawan ini wajar terjadi disaat seperti ini.
”Jadi sebuah keniscayaan. Di tengah perekonomian lambat, perusahaan pasti mengalami kerugian.
Cara mengurangi kerugian pasti lewat pengurangan karyawan. Misalnya pabrik tak beroperasi dan tutup masa tidak potong karyawan?” jelasnya.
Pada situasi seperti pandemi ini, lanjutnya, semua sektor pasti akan mengalami perlambatan ekonomi.
”Tidak hanya perusahaan sektor tertentu saja tapi menghantam semua sektor,” tegasnya.
Piter menambahkan, merumahkan pegawai adalah pilihan rasional dari pelaku usaha. ”Memang ada opsi lain untuk mencegah PHK.
Misalnya pemerintah Jerman subsidi gaji pegawai. Sebelum ada alarm pengangguran, sebagian gaji karyawan swasta mereka ditanggung oleh pemerintah,” terangnya.
Selama virus Corona masih mengancam menurut Piter maka badai ekonomi terus terjadi. ”Ini kondisi tidak normal dan orang masih takut PHK. Padahal itu sesuatu yang rasional. Semua yang tidak efisien pasti diefisienkan,” imbuhnya.