Pengamat: Bukannya Kecepatan, Operator Internet Harus Fokus Pada Pemerataan Jaringan
Sementara itu, untuk operator lama, mereka lebih banyak menyediakan paket-paket yang lebih menarik dan melakukan modernisasi jaringan lama.
TRIBUNNEWS.COM - ASA seorang pengamat meragukan beberapa penilaian yang dilakukan oleh content provider (CP) penyedia film, games, dan lain-lain terhadap operator fixed broadband di Tanah Air terkait kecepatan akses internet rata-rata.
Menurut penilaiannya, urutan kecepatan internet di tempati oleh operator-operator baru dengan jumlah pelanggan yang belum besar. Sementara itu, urutan terakhir diisi oleh operator lama dan memiliki pelanggan yang cukup besar.
Menurutnya ada beberapa faktor yang mesti diperhatikan untuk membuktikan penilaian tersebut berimbang atau tidak. Adapun faktor yang mesti dilihat terkait aspek pelanggan, teknis, dan bisnis.
“Valid dan fair-kah penilaian performansi layanan yang dilakukan? Atau sebenarnya ada udang di balik rempeyek, ada kepentingan bisnis di balik itu semua,” ujar ASA dalam keterangan tertulisnya.
Aspek pertama yang bisa dilihat menurutnya adalah profil dari pelanggan. Menurut ASA, para pengguna sering diberikan beragam penawaran dari para operator penyedia jasa layanan internet yang sudah besar ataupun masih kecil.
ASA menambahkan, biasanya operator baru akan menawarkan kecepatan internet yang luar biasa dengan harga yang begitu ekonomis.
“Operator yang baru, mereka menawarkan paket berlangganan dimulai dari kecepatan terendah 75 Mbps dan di atasnya. Bila sebagian besar pelanggannya memilih paket 75 Mbps dan biasanya memang demikian, mayoritas pelanggan memilih paket termurah, maka otomatis rerata kecepatan terukur operator tersebut seharusnya pada kisaran 75 Mbps atau sedikit di bawahnya karena 75 Mbps adalah kecepatan maksimum yang dijaminkan oleh operator tersebut,” tambahnya.
Sementara itu, untuk operator lama, pelanggan mereka cenderung tetap berlangganan paket dengan kecepatan rendah dan stabil walaupun operator memiliki paket-paket dengan kecepatan tinggi.
“Kalau kita masih ingat, sekitar 6 tahun lalu operator terbesar di Indonesia membuka pasar fixed broadband dengan paket mulai 10 Mbps, maka dapat diduga mayoritas pelanggannya masih tetap pada paket itu. Bila diukur pun akan didapatkan hasil kecepatan pada kisaran 10 Mbps atau sedikit di bawahnya karena angka 10 Mbps adalah kecepatan maksimum yang dijaminkan oleh operator itu,” kata ASA.
Meskipun menawarkan kecepatan yang cenderung lebih kecil, untuk menjawab kebutuhan masyarakat, biasanya operator besar akan meng-upgrede kecepatan internet mereka.
“Akhir-akhir ini operator terbesar itu telah mulai meng-upgrade paket 10 Mbps menjadi up to 20 Mbps tanpa tambahan biaya dari pelanggannya,” tambahnya.
ASA menyayangkan upgrade yang dilakukan oleh operator besar baru dilakukan setelah penilaian dari CP keluar. Sehingga menurut ASA, penilaian yang dilakukan oleh CP belum menunjukan data terbaru.
“Sayangnya upgrade ini dilakukan setelah pengukuran dilakukan oleh para CP sehingga kita belum tahu situasi terkini kecepatan reratanya,” katanya.
Aspek teknis juga perlu diperhatikan. Menurut ASA, operator baru mengadakan infrastruktur awal untuk menarget ke pelanggan tertentu yang lebih menguntungkan.
“Konfigurasi, desain, teknologi yang digunakan bisa disesuaikan dengan kondisi dan memiliki kesempatan memiliki teknologi terkini yang lebih efisien,” tambahnya.
Sementara itu, untuk operator lama, mereka lebih banyak menyediakan paket-paket yang lebih menarik dan melakukan modernisasi jaringan lama.
“Ini untuk di tingkat jaringan akses. Untuk jaringan di atasnya, jaringan tulang punggung maupun gateway internasional, operator lama memiliki posisi yang sangat kuat dibanding semua operator lain. Infrastruktur mereka sudah on place dengan kapasitas yang sangat besar dan coverage yang melingkupi seluruh Nusantara bahkan sampai ke pusat-pusat trafik global seperti Singapura, Hongkong, Amerika. Berbicara aspek teknis rasanya operator besar memiliki keunggulan komparatif yang sangat besar,” jelasnya.
ASA menambahkan, aspek bisnis juga perlu dibahas agar penilaian dari CP lebih berimbang. Menurutnya, saat sini, persaingan antara CP dengan operator semakin menarik.
“CP mempunyai posisi bahwa content yang disediakan diminati oleh penikmat digital services yang notabene adalah para pelanggan operator, sedangkan operator selain memiliki infrastruktur yang besar dan luas yang diperlukan oleh CP, jangan lupa, operator juga memiliki basis pelanggan yang kuat,” jelasnya.
“Negosiasi bisnis dan tarik-ulur kekuatan antara dua kubu inilah yang kemudian melahirkan "perang dagang" termasuk perang persepsi memperebutkan hati pelanggan. Bagi banyak pelanggan terkadang bombardir informasi ini membingungkan bahkan bisa jadi menyesatkan,” tambahnya.
Lantas apa yang perlu dilakukan pelanggan?
Sebagai pelanggan, perlu mencerna informasi terkait kecepatan internet dan direfleksikan pada kebutuhan masing-masing terhadap akses jaringan maupun content-nya.
“Apakah betul segala yang ditawarkan yang terlihat menarik itu memang dibutuhkan. Jangan-jangan layanan yang sudah digunakan saat ini dan sudah dinikmati sejak beberapa tahun lalu ini sudah yang terbaik. Belum tentu layanan-layanan baru yang sedang gencar ditawarkan itu akan bertahan demikian lama seperti yang telah digunakan,” ungkapnya.
Ia juga menyarankan, sebaiknya para operator lebih berfokus pada bagaimana mengkoneksikan daerah satu dengan daerah lainnya melalui jaringan internet. Bukan malah berlomba-lomba menawarkan kecepatan tinggi tapi hanya bisa digunakan di kota-kota besar.
“Lagi pula bagi masyarakat dalam kondisi pandemi seperti saat ini, pemerataan layanan jauh lebih penting dari segalanya. Semua operator seharusnya lebih mengedepankan perluasan konektivitas sehingga mampu mencakup masyarakat dari Merauke sampai Sabang dari pada sekedar gembar-gembor perlombaan kecepatan di kota-kota besar. Bagi para CP, masyarakat menantikan peran yang lebih besar lagi untuk turut serta membentuk generasi Indonesia yang kuat, cerdas berbudi pekerti luhur,” tutupnya.