Kerja Sama Starlink dan Operator Telekomunikasi Nasional dalam Mendorong Visi Indonesia Digital 2045
Indonesia sebagai negara yang berdaulat, harusnya memiliki kontrol terhadap ruang angkasa dan ruang digital.
Penulis: Erik S
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Teknologi telekomunikasi terus mengalami transformasi. Termasuk teknologi telekomunikasi satelit.
Dahulu teknologi satelit hanya mengenal orbit geostasioner, namun kini tersedia teknologi yang lebih revolusioner yaitu dengan low earth orbit (LEO) dengan dilengkapi fitur teknologi inter satellite link (ISL). Seluruh data internet dan pelanggan yang melalui satelit LEO dapat dikirimkan melalui ISL tanpa batas negara secara mudah.
Salah satu satelit LEO yang menggunakan teknologi ISL adalah satelit Starlink.
Karena Starlink berasal dari Amerika, maka kendali atas seluruh trafik yang melalui satelit besutan Elon Musk tersebut termasuk gateway dan pusat monitoring (NOC) berada di negara Paman Sam.
Baca juga: Menkominfo Budi Arie Sebut Starlink Bakal Beroperasi di IKN, Bulan Depan Uji Coba
Karena gateway dan NOC berada di luar teritorial Indonesia, menurut Dr. Ir. Mohammad Ridwan Effendi, Pengajar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB), maka Indonesia sebagai negara besar dan berdaulat penuh tidak memiliki kedaulatan infrastruktur akan Starlink tersebut.
Ketika negara tak memiliki kedaulatan, kewenangan negara untuk menjalankan kewajibannya terkait lawful intercept, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan tak dapat ditunaikan.
Lanjut Ridwan, Indonesia sebagai negara yang berdaulat, harusnya memiliki kontrol terhadap ruang angkasa dan ruang digital. Termasuk kontrol atas infrastruktur satelit telekomunikasi yang beroperasi dan menyediakan layanannya bagi masyarakat Indonesia.
Starlink yang menyediakan jasa telekomunikasi bagi masyarakat Indonesia harusnya tunduk terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk ketika Starlink hendak berbisnis di wilayah Indonesia, mereka harus sesungguhnya menggunakan NOC dan Gateway untuk operasi sesuai dengan regulasi yang berlaku. Bukan hanya NOC dan Gateway sebagai dummy.
Menurut Ridwan, sejatinya, operator telekomunikasi di Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan akses telekomunikasi. Baik itu melalui selular, fiber optic maupun satelit karena kapasitas masih cukup tersedia dan kapabilitas dari SDM bangsa Indonesia cukup mumpuni.
Ridwan mengatakan harusnya pemerintah dan regulator telekomunikasi tak memberikan akses langsung bagi Starlink menjual layanannya langsung ke masyarakat. Mereka harus bekerja sama dengan operator telekomunikasi yang sudah ada di Indonesia. Misalnya dapat bermitra dengan 1027 penyelenggara telekomunikasi yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Konsep kerja sama yang dapat dilakukan adalah Starlink hanya menyediakan backbone atau backhaul bagi operator internet lokal yang ingin menggunakan layanan satelit orbit rendah. Sehingga masyarakat tetap mendapatkan kualitas layanan terbaik.
"Kerja sama dengan operator lokal merupakan yang paling tepat bagi Starlink agar dapat beroperasi di Indonesia. Sebab gateway dan NOC dikelola operator Indonesia. Sehingga nantinya yang di depan itu operator lokal. Bekerja sama dengan operator lokal, negara masih memiliki kontrol terhadap infrastruktur telekomunikasi. Trust positif yang terus digalakkan pemerintah melalui Kemenkominfo masih dapat berjalan," kata dia belum lama ini.
Permintaan Starlink untuk tak melayani konsumen langsung di Indonesia juga tersirat dari Direktur Utama Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso. Menurutnya, perusahaan Indonesia mampu dan harus menjadi pemain utama dalam memenuhi kebutuhan akses internet di Indonesia.
Terlebih lagi pemerintah juga telah memberikan dukungan penuh terhadap operator domestik melalui Visi Indonesia Digital 2045. Menurutnya, dukungan tersebut akan semakin mengokohkan operator domestik sebagai tuan rumah di negeri sendiri.
Jika dirasa masih ada kekurangan kapasitas, Adi mengatakan operator satelit asing dapat saja memberikan tambahan. Dengan harapan masyarakat bisa mendapatkan kapasitas yang dibutuhkan dengan harga yang wajar.
"Namun, perlu dikaji kelaziman lebih lanjut, apakah praktik operator satelit asing yang menjual produk di suatu negara dengan harga lebih murah dibandingkan di negara asalnya sudah sesuai dengan tata cara perdagangan internasional. Hal ini untuk memastikan terciptanya Equal Level Playing Field yang juga didukung oleh pemerintah baik dari sisi regulasi komunikasi maupun bisnis, perpajakan dan perdagangan internasional," kata Adi media baru-baru ini.