Siapa Suchir Balaji? Remaja Cerdas Arsitek Pengembangan ChatGPT yang Ditemukan Tewas di Apartemennya
Polisi San Fransisco menyatakan Suchir Balaji tewas karena bunuh diri, namun kematian remaja cerdas berusia 26 tahun ini tetap misterius.
Penulis: Choirul Arifin
“Saya pikir kita bisa menemukan ilmuwan yang bisa membantu menyelesaikannya.”
Baca juga: Arsitek ChatGPT yang Jadi Wishtle Blower Pelanggaran Hak Cipta Ditemukan Tewas Bunuh Diri
Saat menjadi mahasiswa ilmu komputer di Universitas California, Berkeley, Suchir Balaji mulai mengeksplorasi ide mengembangkan sistem matematika yang disebut jaringan saraf yang dapat mempelajari keterampilan dengan menganalisis data digital.
Ia bahkan magang di OpenAI pada tahun 2018 dan kemudian resmi bergabung dengan perusahaan AI tersebut pada tahun 2020.
Pada masa awalnya di OpenAI, Balaji mengerjakan WebGPT, dan kemudian bekerja di tim pra-pelatihan untuk GPT-4.
Menurut outlet tersebut, Balaji melakukan penelitian di balik pengembangan jaringan saraf yang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menganalisis hampir semua teks bahasa Inggris di internet.
“Dengan proyek penelitian, secara umum Anda dapat melatih data apa pun,” kata Balaji. “Itulah pola pikir pada saat itu.”
Kemudian OpenAI merilis ChatGPT. Awalnya didorong oleh pendahulu GPT-4 dan kemudian oleh GPT-4 itu sendiri, chatbot menjadi berita utama dan mendapatkan popularitas besar. Dan tak lama kemudian, ini menjadi penghasil uang.
Pada bulan Agustus 2024, Suchir Balaji memutuskan untuk meninggalkan OpenAI, didorong oleh meningkatnya kekhawatiran bahwa teknologi yang ia bantu kembangkan pada akhirnya akan lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat.
“Jika Anda yakin dengan apa yang saya yakini, Anda harus keluar saja dari perusahaan,” katanya kepada outlet tersebut.
Inilah Kekhawatiran yang Disampaikan Suchir Balaji
Balaji, mantan karyawan OpenAI yang bekerja dengan perusahaan tersebut selama lebih dari empat tahun, meninggalkan perusahaan tersebut dengan alasan kekhawatiran tentang bagaimana raksasa AI tersebut diduga menggunakan data berhak cipta tanpa izin yang sesuai.
Dalam wawancara dengan The New York Times, dia menjelaskan bagaimana sistem seperti GPT-4 belajar dengan membuat salinan lengkap dari data yang menjadi dasar pelatihannya.
Setelah data tersebut direplikasi, perusahaan seperti OpenAI dapat melatih sistemnya untuk menghasilkan salinan yang sama atau keluaran yang benar-benar baru.
Kenyataannya, katanya, adalah perusahaan mengajarkan sistem untuk melakukan sesuatu di antara keduanya.
“Keluaran yang dihasilkan tidak sama persis dengan masukan yang ada, namun pada dasarnya juga bukan sesuatu yang baru,” kata Balaji.