Pesona Telaga Warna Dieng dari "Negeri di Atas Awan"
Dataran Tinggi Dieng, Negeri Di Atas Awan.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Tribun Jogja, Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, WONOSOBO - TAK salah, dataran tinggi Dieng atau Dieng Plateau dijuluki "Negeri di Atas Awan".
Wilayah yang terletak di perbatasan dua kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara ini "sangat terpencil".
Berada di ketinggian antara 2.000 hingga 2.600 meter di atas permukaan laut.
Gumpalan-gumpalan awan tebal terlihat berarak di bawah desa-desa dan dusun-dusun di Dieng adalah pemandangan biasa di awal musim hujan (Oktober-Desember.
Candi Arjuna. (Tribun Jogja/Setya Krisna Sumarga)
Bersaput kabul tebal hingga jarak pandang satu dua meter juga panorama lumrah di musim-musim tertentu di Dieng.
Eksotika alam Dieng memang bukan isapan jempol. Hari-hari ini di puncak musim kemarau, suhu udara di Dieng juga sangat ekstrem.
Pada hari-hari tertentu bisa mencapai titik beku atau bahkan di bawah titik beku.
Kondisi ekstrem itu memunculkan fenomena "embun upas". Meski unik, embun upas ini jadi momok para petani.
Embun yang membeku seperti kristal es ini bisa memusnahkan tanaman dan sayur mayur yang jadi pokok kehidupan mereka.
Nama Dieng konon berasal dari gabungan dua kata bahasa Kawi, yaitu "di" yang berarti "tempat" atau "gunung", dan "hyang" yang artinya dewa.
Dari situlah Dieng dianggap tempat para dewa dewi bersemayam.
Ada juga yang menyebut Dieng berasal dari bahasa Sunda ("di hyang").
Nama itu diduga muncul pada masa pra-kerajaan Medang, sekitar abad ke-7 Masehi.
Daerah ini pada masa itu berada dalam pengaruh Kerajaan Galuh yang berpusat di sekitar Ciamis (sekarang).
Meski saat ini dihuni ribuan penduduk, ditumbuhi beribu rumah dan permukiman, hotel, homestay, penginapan, Dieng sesungguhnya berdiri di atas kaldera raksasa.
Dataran Dieng terbentuk akibat proses geologis vulkanik ratusan ribu hingga jutaan tahun lalu.
Di bawah Dieng adalah kantong dan saluran magma yang sebagian besar masih aktif.
Sejumlah gunung dengan puncak-puncaknya yang menjulang menjadi tepian kaldera raksasa Dieng.
Ada banyak kawah aktif baik yang berbahaya maupun yang dinilai jinak, sehingga tumbuh alamiah menjadi spot-spot wisata alam yang amat menarik.
Kawah Sikidang menjadi objek wisata paling populer di Dieng, karena cukup aman dan mudah dijangkau.
Kawah Sikidang. (Tribun Jogja/Setya Krisna Sumarga)
Di kawah ini pengunjung bisa menyaksikan langsung dan dari dekat, air lumpur bercampur belerang dan unsur-unsur kimia lain menggelegak dengan suhu di atas titik didih.
Tiket masuk Rp 10.000 per kepala. Tiket ini sudah termasuk kunjungan ke komplek Candi Arjuna.
Kawasan bangunan kuno ini ratusan tahun lalu diduga jadi pusat pemujaan atau ritus ibadah masyarakat Hindu yang pertama kali menembus dan mendatangi "atap langit" ini.
Kompleks candi yang diselimuti kabut di pagi hari adalah panorama yang diburu penggila fotografi alam.
Tiketing di Dieng Plateau memang terkesan merepotkan.
Setiap objek wisata yang dikelola pemerintah maupun penduduk lokal, punya tiket masing-masing.
Yang sama hanyalah tiket masuk kawasan Rp 2.000 per kepala.
Misal ke spot pandang puncak bukit ratapan Telaga Warna, lokasinya di atas kompleks Dieng Plateau Theater, tiket masuk per kepala Rp 10.000.
Loket dikelola penduduk, yang di musim sepi pengunjung, "nyambi" jadi peladang kentang.
Spot di puncak bukit ini ke arah Telaga Warna memang mempesona.
Dua telaga yang berbeda akibat kandungan kimiawinya yang berlainan, terlihat jelas beda warna hijau dan kecoklatan, dikelilingi lereng dan pucuk-pucuk gunung yang tinggi menjulang.
Di hari biasa, spot yang cocok buat selfie dan bikin foto panorama ini sepi pengunjung.
Tapi jika hari libur atau akhir pekan, pengunjung membeludak baik di tepi maupun sejumlah titik pandang di puncak bukit sekelilingnya.
Objek-objek wisata lain tersebar di beberapa tempat. Sayang, sebagian tidak mudah dicapai pengunjung biasa atau kalangan manula.
Seperti kawah Candradimuka dan sumur Jalatunda. Objek wisata lain ada Telaga Merdada, Telaga Pengilon, Telaga Dringo, dan Telaga Nila.
Bagi mereka yang tak kuat berjalan jauh di rute ekstrem, tentu jangan lewatkan ke Dieng Plateau Theatre.
Di bioskop mini yang terletak di atas Telaga Warna, akan diputar film dokumenter berdurasi lebih kurang 23 menit, tentang Dieng.
Film dokumenternya selain menceritakan segi geologis terbentuknya Dieng, juga ada rekaman tragedi gas beracun Sinila.
Meski sederhana, ruang pemutaran film dokumenter yang dibangun pada era Gubernur Jateng Mardiyanto ini cukup nyaman.
Secara umum, objek wisata kawasan Dieng Plateau cukup bagus.
Meski lokasinya cukup jauh di ketinggian pegunungan, aksesibilitas dan sarana prasarana pendukung untuk wisatawan bagus dan lengkap.
Homestay bertebaran di mana-mana, mulai yang kelas backpacker hingga untuk keluarga yang butuh kenyamanan.
Tempat makan dari kaki lima hingga restoran juga tersedia. Layanan internet dan jaringan telekomunikasi cukup bagus.
Dieng bisa dicapai dengan cukup mudah, baik menggunakan sepeda motor, transportasi umum maupun kendaraan pribadi.
Untuk kendaraan roda empat terbatas, maksimum bus sedang.
Bukit belerang. (Tribun Jogja/Setya Krisna Sumarga)
Ada dua jalur utama ke Dieng, via Wonosobo dan Banjarnegara.
Jika titik tujuannya dari Kota Yogya maupun Semarang dan kota-kota lain di sisi timur dan selatan, maka jalur Wonosobo adalah rute terpendek dan mulus.
Sedangkan jika dari Purwokerto atau pantura Batang, Pekalongan, Tegal, bisa via Wanayasa, Kajen, Batur.
Khusus di Banjarnegara ada rute alternatif via Pagentan, Pejawaran, Batur, dan Dieng.
Namun jalur ini sangat ekstrem, melewati pegunungan tinggi, tepi jurang, jalannya sempit, rusak berat di beberapa tempat.
Nah, tak lengkap rasanya mengisi liburan akhir pekan atau liburan panjang sekolah tanpa menyambangi Dieng Plateau.
"Indonesia itu indah," kata kaum backpacer Nusantara.
Iya, Dieng itu indah. Jadi, tunggu apalagi?