100 Tahun Museum Aceh: Wangi Rempah, Megahnya Sutra, dan Kilau Emas
Wangi rempah, megahnya sutra, dan kilaunya emas menjadikan Aceh tanah taruhan bagi bangsa-bangsa asing.
Editor: Mohamad Yoenus
Di lantai satu museum, kita akan melihat begitu kayanya alam Aceh. Bustan Bumi, demikianlah sebutan untuk keanekaragaman yang dimiliki Aceh.
Berbagai binatang khas Aceh yang sudah diawetkan dimasukkan dalam kaca. Di situ juga menjelaskan secara detail kepada pengunjung tentang batas wilayah Aceh.
Pulau-pulau, gunung, sungai yang menyimpan pusaka bagi kehidupan sebaran masyarakat dalam 6.450 gampong.
Di lantai dua, decak kagum tentang Aceh semakin menyeruak. Bagaimana tidak, fragmen sejarah masa lalu Aceh dihadirkan di sini.
Lukisan keadaan Banda Aceh dulu kala terpampang pada dinding. Lukisan itu dibuat berdasarkan sketsa Peter Mundi, seorang penjelajah dari Inggris pada 1637.
Petugas museum menjelaskan, lukisan tersebut mengisahkan istana dan taman Kesultanan Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani, yaitu suami dari Ratu Shafiatuddin.
Di dalam lukisan terlihat jelas bagaimana Banda Aceh yang dialiri Krueng Daroy dengan arak-arakan pasukan gajah menuju Masjid Raya Baiturrahman pada perayaan hari raya.
Sejumlah pelajar saat berkunjung ke Museum Aceh. (Antara)
“Jauh dari istana itu adalah taman Bustanussalatin atau sebutan lainnya adalah ‘Taman Ghairah’ seperti yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniry dalam kitab Busatanussalatin,” jelas petugas museum.
Di sisi kiri lukisan, berjejer foto dan gambar para Sultan dan Sultanah di Aceh, seperti Sultan Ali Mughayat Syah. Ia adalah sultan yang menyatukan Kesultanan Darud Donya dan Darul Kamal yang kemudian mendirikan dinasti Kesultanan Aceh.
Sebelahnya, gambar Sultan Alau’ddin Ri’ayat Syah Al-kahhar (1537-1571) juga terpampang, ia adalah pemimpin awal Kerajaan Aceh Darussalam.
Sementara gambar Sultan Iskandar Muda (1607-1636) berada di tengah-tengah antara sultan dan sultanah. Ia adalah sultan yang membawa Kerajaan Aceh pada pucak kejayaannya.
Tak ketinggalan gambar Sultan Iskandar Tsani, Ratu Safiatuudin, Sultanah Kamalat Syah dan lainnya juga dihadirkan yang sangat memanjakan mata mengingat kembali masa-masa kegemilangan Aceh seperti dalam buku-buku sejarah Aceh.
Sejumlah gambar-gambar masjid dan beberapa senjata pada masa Portugis dan Belanda pun dipajang di lantai tiga museum.
Tak ketinggalan, tulisan ulama-ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Syeikh Abdur Rauf As-singkili, dan Nuruddin Ar-Raniry dipajang untuk mengingatkan kita pernah adanya ulama-ulam besar di bumi Aceh.