100 Tahun Museum Aceh: Wangi Rempah, Megahnya Sutra, dan Kilau Emas
Wangi rempah, megahnya sutra, dan kilaunya emas menjadikan Aceh tanah taruhan bagi bangsa-bangsa asing.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Subur Dani
“Wangi rempah, megahnya sutra, dan kilaunya emas menjadikan Aceh tanah taruhan bagi bangsa-bangsa asing. Cahaya Islam yang menyebar di Nusantara bermula di sini, dari tanah Serambi Mekah. Cendikiawan dengan mahakarya bermunculan, mengundang orang-orang yang haus tuntunan agama datang, inilah Aceh.”
Begitulah kira-kira untaian kata yang tertulis rapi di salah satu sudut dalam Museum Aceh di Jalan STA Mahmud Syah, Banda Aceh.
Kamis (30/7/2015), Museum Aceh yang didirikan pada masa Hindia Belanda dan diresmikan pada 31 Juli 1915 itu genap berusia 100 tahun.
Beragam acara yang digagas Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh pun dihelat untuk mengenang betapa kokohnya museum tersebut.
Ia adalah salah satu museum tertua di Indonesia yang menyimpan berbagai sejarah Aceh dari masa ke masa.
Museum Aceh. (Antara)
Untuk diketahui, Museum Aceh pada awalnya hanyalah sebuah bangunan rumah tradisional Aceh yang kemudian dikembangkan oleh FW Stammeshaus, seorang kurator Museum Aceh pertama pada tahun 1915.
Laman Wikipedia melansir, awalnya Museum Aceh berasal dari paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada 13 Agustus-15 November 1914.
Pada pameran itu ternyata paviliun Aceh menoreh prestasi berkat benda koleksi FW Stammeshaus dan benda-benda pusaka dari pembesar Aceh. Hingga akhirnya pavilun Aceh berhasil memperoleh empat medali emas.
Atas keberhasilan itu Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh saat itu agar paviliun dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah museum.
Ide itu diterima dan paviliun itu dikembalikan ke Aceh dan diresmikan pada tanggal 31 Juli 1915. Begitulah kira-kira sejarah bangunan yang sudah berusia seabad itu.
Pengunjung melihat dokumentasi sejara Serambi Mekkah di Museum Aceh. (Antara)
Pada hari-hari biasa, museum yang berada di samping Meuligoe (Pendapa) Aceh itu tampak tak begitu ramai. Namun, kemarin suasana sepi mencekam diriuhkan oleh alunan tabuhan rapa-i dan tiupan seurune kalee serta lenggoknya penari guel dan heroiknya penari saman.
Riam Krueng (Sungai) Daroy di sebelahnya mengimbau sayu, membawa ingatan kita pada sejarah masa lalu.
Ratusan masyarakat hadir seakan ingin melihat lagi berbagai sejarah yang pernah terpaku yang telah menyimpan sejarah selama seabad lalu.