Peringatan 100 Tahun Museum Aceh: Saksi Sejarah dan Kemegahan Bumi Rencong
Peringatan seabad tersebut konon merupakan yang paling fenomenal sepanjang museum itu berdiri.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Serambi Indonesi, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Tepat tanggal 31 Juli, Museum Aceh berumur 100 tahun. Peringatan seabad museum ini mengusung tema ‘Transformer Peradaban’.
Tak berlebihan rasanya karena koleksi museum tersebut telah melintasi zaman. Era Kerajaan Hindu pada abad ke-13 hingga masuk dan berkembangnya Islam ke nusantara.
Peringatan 100 tahun Museum Aceh. (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
Abad ke-17 pada masa kerajaan Aceh Darussalam menjadi puncak kegemilangan Aceh yang gaungnya mahsyur hingga ke belahan dunia lainnya. Masa agresi Belanda ke tanah ibu pertiwi pun menasbihkan provinsi paling ujung barat Indonesia sebagai daerah modal NKRI.
Rekam jejak itu tersimpan rapi dalam Museum Aceh.
Romantisme sekaligus spirit juang tersebut dihadirkan kembali di pentas peringatan museum yang sudah terbilang tua tersebut. Dilakonkan dengan apik oleh para generasi muda yang memerankan tokoh sentral Sultan Iskandar Muda, Teuku Umar, dan Lakmana Cheng Ho.
Para pengunjung berinteraksi langsung dengan tokoh yang selama ini sosoknya hanya dikenal lewat catatan sejarah. Panitia acara sukses menghidupkan ruh tokoh yang selama ini sosoknya bersemayam dan tersimpan rapi dalam museum.
Peringatan seabad tersebut konon merupakan yang paling fenomenal sepanjang museum itu berdiri.
onceng Cakra Donya, hadiah kaisar Cina yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho untuk Sultan Aceh. (Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
Gembita pagelaran yang berlangsung mulai 30 Juli – 4 Agustus tersebut dimeriahkan oleh kehadirin empat museum di tanah air yaitu Museum Kebangkitan Nasional, Museum Naskah Proklamasi Sumpah Pemuda, Museum Benteng Yogyakarta, dan Museum Nasional Indonesia.
Pengunjung yang didominasi oleh murid sekolahan di seputaran Kota Banda Aceh dan tetangganya Kabupaten Aceh Besar melakukan wisata sejarah. Museum Aceh memainkan perannya dengan baik sebagai destinasi wisata edukatif.
“Di sini mereka bisa berinteraksi langsung dengan tokoh-tokoh dan benda koleksi yang ada. Sehingga berwisata sejarah dengan mengunjungi museum tidaklah membosankan,” ujar Ketua Panitia Acara Peringatan 100 Tahun Museum Aceh, Hafni.
Koleksi museum Aceh
Tribun Travel yang berkesempatan kembali mengunjungi Museum Aceh mendapati wajah museum yang semakin bersolek. Warna warni itu terlihat dari Rumah Aceh yang menjadi salah satu koleksi museum berwujud rumah panggung dijejali dengan karya rekam, cetak, dan dokumen berupa masnuskrip.
Karya tersebut dipajang oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), sebuah lembaga yang cukup disegani pada masaanya, jauh sebelum era teknologi digital dikenal luas.
Dipanggung utama dihelat atraksi seni daerah sekaligus pemutaran film perjalanan Museum Aceh. Di sudut lain di arena museum berjejer stan yang menyuguhkan seni kriya seperti menyulam dan melukis serta seni boga berupa parade makanan tradisional.
Di sini pengunjung tak hanya menyaksikan koki dan pengrajin berkreasi, tapi juga bisa mencoba sendiri.
Jangan lewatkan kesempatan merasakan atmosfir Aceh tempu dulu yang disuguhkan panitia acara. Menginjak lantai satu kita diajak memasuki Bustanul bumi atau bentang alam Aceh dengan semua potensi yang ada di dalamnya.
Lanjut ke lantai dua kita diajak merasakan kemashuran Aceh masa silam yang diberi tajuk Bustanul Salatatin. Menapaki lantai tiga kita memasuki Bustanul Syuhada yang berarti tempat para pahlawan dan peralatan perang disimpan.
Semangat juang itu dikobarkan oleh foto para pahlawan seperti Ratu Perang Cut Nyak Dhien, pemimpin armada laut perempuan Laksamana Malahayati, serta hikayat perang sabi yang mengobarkan semangat tempur para pejuang Tanah Rencong yang dikenal agresif. Rencong, tombak, dan senjata tradisional lainnya menjadi pennghuni utama Bustanul Syuhada.
Di lantai 4 kita memasuki era kemerderkaan yang disiarkan oleh Radio Rimba Raya yang berpusat di dataran tinggi Aceh yang menjadi cikal bakal lahirnya RRI.
Serta laskar mujahidin yang bermetamorfosis menjadi TNI. Tak ketinggalan miniatur pesawat RI pertama yang disumbang Aceh dan menasbihkannya sebagai daerah modal.
Mementahkan klaim Belanda yang berkoar-koar telah menaklukkan nusantara. Aceh sudah memberikan putra putri terbaik dan semua yang dipunya kepada ibu pertiwi. Museum Aceh ibarat ‘mesin waktu’ yang memutar jejak rekam sejarah. Sebuah ‘brankas memori’ yang tak termakan waktu.