Semerbak Belerang Saat Kunjungi Lumpur Lapindo dan Jurus Wawancarai Tukang-tukang Ojek
Ingin berlama-lama mengamati Lumpur Lapindo, pernafasan terusi semerbak belerang menyengat. Belum lagi dikitari tukang-tukang ojek.
Editor: Agung Budi Santoso
Dalam satu tahun, sesuai standar prosedur internal Perusahan setiap gerai toko harus dilakukan dua kali stock take (stock opname). Biasanya pada semester 1 diadakan pada bulan April dan semester 2 pada bulan Oktober.
Maka setiap bulan April dan Oktober saya mendapat kesempatan keluar kota sebagai wakil Head Office untuk membantu dan memastikan gerai toko melakukan stock opname sesuai dengan prosedur.
Tentang Lumpur Lapindo
Lumpur lapindo pertama kali menyembur pada tanggal 29 Mei 2006 ketika diadakan pengeboran migas yang dilakukan perusahaan Lapindo Brantas.
Lokasi pertama berada di dusun Balangnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Kejadian ini sempat menggemparkan dan menjadi headline berita selama beberapa bulan.
Berbagai ahli di dunia juga ikut membantu untuk menutup pusat semburan agar tidak meluas. tapi nampaknya usaha itu tidak berhasil. Tercatat 3 kecamatan disekitar semburan terkena dampak. Areal pemukiman, pertanian dan industri akhirnya terendam lumpur panas .
Lumpur lapindo membawa dampak sosial, ekonomi, lingkungan hidup dan mengancam beberapa jalur utama transportasi . Jalan utama seperti Surabaya- Malang, Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi, jalan tol Surabaya-Gempol hingga jalur kereta api Surabaya-Malang.
Ganti rugi korban lumpur Lapindo juga mengalami permasalahan. Pemerintah akhirnya ikut campur melalui dana talangan. Namun diluar itu semua kejadian semburan lumpur Lapindo menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terutama perusahaan migas yang sedang melakukan pengeboran.
Kenangan melihat langsung lumpur Lapindo membawa sebuah perenungan. Dimana kekuatan teknologi manusia takkan mampu menandingi kuasa Tuhan. Maka bersyukur atas nikmat Tuhan menjadi pelajaran berharga pagi itu. Tidaklah pantas kita bersombong diri. salam merdeka....
(Kompasiana.com/ Rushans Novaly)