Mitologi Gerhana Matahari Yang Hidup di Masyarakat Indonesia
Meski tidak akan terungkap kebenarannya, mitos tetap bisa mewarnai, melengkapi dan memperkaya daya pikir
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
"Akhirnya, Dewa Indra pun melapor ke Dewa Wisnu. Dewa Wisnu pun mengeluarkan Cakranya dan memenggal kepala Raksasa Kalarau yang terpisah dari badannya," ulasnya, Senin (7/3/2016) kepada Tribun Bali (Tribunnews.com Network).
Gusti Ngurah melanjutkan, usai memenggal kepala dan badan Raksasa Kalarau, kemudian Raksasa Kalarau mengucap sumpah.
Dalam sumpah itu, Raksasa Kalarau menyebut jika pada suatu saat akan memakan Matahari dan Bulan. Dan itulah yang terjadi ketika sumpah Raksasa Kalarau dilakukan, dan cikal bakal kepercayaan Hindu tentang Gerhana Matahari.
"Namun, karena badan dan kepala terpisah, setiap memakan Matahari dan Bulan selalu keluar lagi dari leher Raksasa Kalarau," katanya.
4. Mitologi Di Bumi Borneo
Di bumi Borneo, Masyarakat Dayak percaya, ketika gerhana matahari, Matahari dikuasai Jangkarang Matan Andau, manifestasi dari Hyang Ilahi. Gerhana adalah pertanda dari Jangkarang Matan Andau bagi keberlangsungan hidup manusia pada masa datang.
"Jika gerhana matahari terjadi pagi hari atau subuh, itu pertanda bagi mereka yang berusia muda, mulai dari baru lahir hingga usia dewasa, akan memperoleh terang kehidupan. Pada pagi hari terdapat kesegaran, kesejukan, dan kesehatan," kata Bajik Rubuh Simpei, rohaniwan Hindu Kaharingan, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kompas 17 Februari 2016).
Selanjutnya, apabila gerhana terjadi siang hari, perlu diwaspadai akan terjadi bencana atau gejolak di kemudian hari. Sifat siang hari yang panas rentan menimbulkan gejolak yang harus diantisipasi pada masa depan. Jika gerhana matahari terjadi sore hari, masyarakat Dayak meyakini pada masa mendatang akan damai, aman, dan penuh berkat.
"Segala tanda dari fenomena alam itu untuk mendorong manusia mawas diri dan berhati-hati menghadapi masa depan," katanya.
Saat terjadi gerhana, puji-pujian pun dihaturkan melalui upacara adat oleh balian (dukun) dengan mendaraskan mantra dan doa dalam bahasa Sangiang atau bahasa leluhur. Ritual itu untuk menjaga keseimbangan alam semesta sekaligus ungkapan syukur kepada Tuhan.
"Yang penting diingat adalah alam telah membantu dan mendampingi manusia, tinggal bagaimana manusia melestarikan dan terus hidup berdampingan dengan alam," ujar Bajik.
Sementara itu, Ketua Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kota Palangkaraya Prada mengatakan, saat gerhana matahari tiba, terdapat energi negatif yang harus dihalau manusia. Karena itu, saat gerhana, remaja biasanya keluar rumah sambil menutupi kepalanya dengan wajan agar rambutnya tidak segera beruban.
Selain itu, dibunyikan juga gong, gendang, atau tabuh-tabuhan lain untuk mengusir energi negatif itu.
Budayawan Kalsel, Mukhlis Maman menambahkan mitos soal gerhana matahari tidak dapat dipungkiri masih ada di sebagian masayarakat Kalimantan Selatan.