Perang Ketupat: Tradisi Masyarakat Tempilang Jelang Ramadan yang Sarat Nilai Gotong Royong
Dalam tradisi ini, ada dua kelompok masyarakat nantinya akan saling melempar ketupat ini ke arah lawannya.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Bangka Pos, Iwan Satriawan
TRIBUNNEWS.COM, BANGKA - Masyarakat Kecamatan Tempilang Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 29 Mei mendatang kembali menggelar tradisi Perang Ketupat.
Tradisi unik yang sayang untuk dilewatkan ini merupakan puncak acara ruwah di Kecamatan Tempilang dan sudah menjadi agenda pariwisata Kabupaten Bangka Barat.
Mendengar kata Ketupat pasti langsung terbayang makanan dari beras yang dibungkus daun kelapa muda.
Di Pulau Bangka, Ketupat menjadi menu wajib yang harus ada disetiap rumah penduduk saat lebaran Idul Fitri, Idul Adha maupun lebaran Maulud hingga Ruwah.
Nah saat puncak acara tradisi Perang Ketupat yang akan digelar di pantai Pasir Kuning Tempilang, ada dua kelompok masyarakat nantinya akan saling melempar ketupat ini kearah lawannya.
Tak ada dendam maupun sakit hati diantara mereka yang terkena lemparan ketupat tersebut.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bangka Barat Rozali mengatakan, tradisi Perang Ketupat dan Taber Kampung saat ini sudah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu warisan budaya tak benda.
"Ini sudah menjadi agenda wisata kita. Rencananya nanti pak gubernur, pak bupati, SKPD dan undangan lainnya akan hadir pada acara tersebut," ungkap Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bangka Barat Rozali didampingi Kabidnya Sukandi, beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, tradisi turun temurun Perang Ketupat Tempilang memiliki makna semangat gotong royong yang tinggi warga setempat.
Soalnya untuk persiapan acara tersebut warga bergotong royong mempersiapkan segala sesuatunya seperti menyiapkan ketupat yang akan digunakan untuk Perang Ketupat.
"Ketupat itu nantinya sumbangan dari rumah kerumah," ungkapnya.
Untuk tradisi Perang Ketupat, hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan dimulainya tradisi ini.
Berdasarkan cerita dari turun temurun pada saat Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada tahun 1883, tradisi ini sudah ada.