Marandang, Tradisi Unik Masyarakat Minang Sambut Ramadan
Sudah menjadi kelaziman saat-saat istimewa seperti menyambut bulan Ramadhan, rendang menjadi menu wajib di meja makan warga Padang.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Aroma harum gulai daging sapi yang sedang dimasak menyeruak memenuhi dapur sederhana milik Fatimah (42) seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Lubuk Kilangan, Padang.
Sejak pagi dengan telaten perempuan tiga anak itu terus mengaduk-aduk gulai yang mulai berwarna kecoklatan tersebut untuk dimasak menjadi rendang, menu istimewa keluarga santap sahur pertama pada Ramadhan 1437 Hijriah.
Meskipun harga daging sapi naik Rp20 ribu per kilogram dibandingkan hari biasa, sehingga Fatimah harus mengeluarkan uang Rp120 ribu guna mendapatkan sekilo daging tak menyurutkan niatnya marandang atau memasak rendang.
Tak seperti rendang di restoran Padang pada umumnya yang berwarna merah. Di RM Pagi Sore, rendangnya berwarna cokelat tua. (Kompas.com/Sri Anindiati)
"Ada yang kurang kalau tidak masak rendang menyambut puasa, mahal sedikit tidak apa kan cuma sekali-sekali," ujarnya.
Menurut dia, Ramadhan adalah bulan baik karena itu sebagai wujud rasa syukur perlu menyajikan menu istimewa untuk sahur.
"Alhamdullilah kami sekeluarga bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun ini, biar anak-anak semangat puasanya saya masakan rendang untuk mereka sahur dan buka," lanjut dia.
Sudah menjadi kelaziman saat-saat istimewa seperti menyambut bulan Ramadhan, rendang menjadi menu wajib di meja makan warga Padang.
Karena itu dalam dua hari terakhir akan dijumpai di dapur warga, para ibu sibuk memasak makanan yang disebut sebagai menu terenak di dunia oleh CNN pada 2011.
Untuk memasak sekilo rendang Fatimah menyiapkan bumbu mulai dari kelapa yang sudah tua, cabai giling, bawang merah, bawang putih, kemiri, serai hingga jahe.
Santan kelapa yang telah diperas terus diaduk dalam kuali dengan api kecil.
Semua bumbu digiling halus perlahan dituangkan, tangannya pun tak henti mengaduk agar merata dan tidak hangus.
Dua jam berlalu santan yang ada dalam kuali berubah warna menjadi kecoklatan.
Setelah santan berubah warna menjadi coklat dan kandungan minyaknya mulai ke luar, Fatimah mulai memasukkan potongan daging sapi yang telah dipotong kecil sembari terus mengaduk.
Daging sapi tersebut mulai matang, namun belum kering dan baru disebut kalio atau gulai daging dengan kuah kental kuning kecoklatan.