Ketika Mi Ongklok Menembus Batas Negara
Mi ongklok merupakan hidangan mi bercampur kol dan daun kucai, dengan kuah kental terbuat dari sari pati nabati, dan bagian atas disiram dengan...
Editor: Malvyandie Haryadi
Dari proses inilah, sebutan ”ongklok” akhirnya ”resmi” melekat. Tidak pernah ada yang berubah dalam proses ini, termasuk saringan berbahan bambu yang menjadi peranti ”wajib” yang urung tergantikan.
”Saringan bambu adalah bagian dari menjaga orisinalitas rasa karena tidak menambah aroma atau merusak rasa dari bahan-bahan yang dicelup,” ujarnya.
Berikutnya, yang perlu diperhatikan adalah kuah kental dari mi. Di warung, kuah kental tersebut telah terlebih dahulu dimasak dan disiapkan dalam panci, yang selalu mengepul panas di atas kompor yang selalu menyala dengan api kecil.
Kuah ini dibuat dari racikan bawang merah, bawang putih, sari pati nabati, ebi (udang kecil), kecap, dan gula merah.
Sebagai sentuhan terakhir, mi yang sudah berkuah kental disiram dengan bumbu kacang, yang terbuat dari paduan kacang dan gula merah yang ditumbuk kasar. Sedikit bawang merah goreng sebagai penyedap, hidangan ini pun siap disantap.
Untuk tambahan lauk, pengunjung dapat memesan sate sapi, tempe kemul, dan geblek. Semua hidangan ini baru akan disiapkan ketika dipesan sehingga semuanya dijamin terhidang panas, langsung dari penggorengan dan tungku arang.
Tempe kemul adalah semacam tempe goreng berbalut tepung, namun cenderung lebih kering dari mendoan, sedangkan geblek adalah makanan yang terbuat dari paduan bawang putih, kelapa, dan adonan tepung kanji, kemudian digoreng.
Waluyo mengatakan, secara umum, tidak ada yang berbeda dari yang ditawarkan oleh warung-warung lain.
Dia hanya berusaha menjaga agar cita rasa tetap bertahan sama dengan memakai peralatan, teknik memasak, bumbu, bahan—termasuk bahan pelengkap—yang sama dengan yang dipakai oleh mendiang ayahnya.
Selain memakai saringan bambu, dia pun hingga kini tetap memakai kecap produksi industri rumah tangga, yang diproduksi oleh kerabatnya sendiri. Selain itu, dia pun juga konsisten memakai mi produksi rumah tangga merek tertentu dari Purwokerto.
”Kalau memakai produk-produk merek lain, saya khawatir rasanya akan berubah,” ujarnya.
Diserbu pembeli
Waluyo mengatakan, kemahiran ayahnya, Samsudin, meracik mi ongklok didapatkan dengan belajar secara khusus pada seorang pedagang mi ongklok keliling.
”Ilmu” dan ”pembelajaran khusus” yang dilakukan mulai tahun 1960-an inilah, yang kemudian diteruskan Waluyo dan melekat menjadi cita rasa unik mi ongklok Longkrang hingga kini.