Tarian Sara Dabi-dabi, Kesalahan Penyebutan Yang Melekat Hingga Saat ini
Tim Ekspedisi Terios 7-Wonders Wonderful Moluccas (T7W Wonderful Moluccas 2017) tiba pada destinasi terakhir di Desa Sasadu, Jailolo, Kabupaten Halmah
TRIBUNNEWS.COM - Tim Ekspedisi Terios 7-Wonders Wonderful Moluccas (T7W Wonderful Moluccas 2017) tiba pada destinasi terakhir di Desa Sasadu, Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara pada hari ke lima petualangan mengeksplore keindahan Maluku Utara, Selasa (18/7/2017).
Tim tiba di Desa Sasadu sekira pukul 15.00 WIT, yang kemudian disambut oleh Tarian Pengenalan dan Tarian Sara Dabi-dabi.
Tarian ini diperagakan oleh enam orang anak-anak dengan pakaian adat setempat dan berbagai aksesoris pendukung tarian. Empat diantaranya adalah laki-laki dan dua diantaranya adalah perempuan.
Tarian ini dipentaskan dalam waktu sekitar kurang lebih 15 menit demi menyambut Tim T7W Wonderful Moluccas 2017. Tim pun terhibur, bahkan beberapa diantaranya langsung mengabadikan tarian tersebut dengan kameranya masing-masing.
Kepala Adat Desa Sasadu, Tomas Salasa mengatakan, Tarian Sara Dabi-dabi ini adalah tarian adat asli mayarakat Sasadu atau Suku Sahu. Tarian tersebut awalnya adalah gerakan untuk meredam tangisan anak perempuan Sultan Ternate, Haerun.
"Awalnya dulu kala anak perempuan Sultan Haerun menangis selama tujuh hari tujuh malam. Tidak ada yang bisa membuat anak perempuan sultan itu berhenti menangis terus menerus," ujar Tomas kepada Tribunnews.
Sultan Haerun sendiri sudah memanggil seluruh Kapita (panglima perang) dan Mahimo (lurah) di seluruh daratan Ternate. Namun tidak ada satu pun yang dapat meredam tangisan putrinya itu.
Hingga pada akhirnya, ada dua orang dari Desa Sasadu yang berangkat ke Kesultanan Ternate mencoba untuk menenangkan sang putri.
Saat tiba, satu diantaranya langsung bernyanyi "Ning Enang Aning Endong" sebagai musik pengiring tarian, yang saat ini diganti dengan menggunakan gong dan tifa. Satu diantaranya mengucap "Oroinokasidabi" atau yang artinya berikan kesini biar aku gendong atau timang-timang yang saat ini menjadi gerakan tarian yang seperti menimang-nimang anak.
"Akhirnya sang putri yang masih bayi itu tangisannya mereda. Kemudian Sultan Haerun bertanya kepada dua orang itu apa nama gerakan yang seperti tarian itu. Tapi kedua orang itu belum menamai tariannya. Sultan kemudian memberikan nama Tarian Oroinokasidabi," kata Tomas.
Namun, saat kedua orang tersebut meninggalkan Kesultanan Ternate dan tengah menyeberang laut, mereka lupa apa nama tarian yang telah diberikan oleh Sultan Haerun. Mereka berdua hanya mengingat kata 'Dabi'.
"Dari sana mereka pulang dengan bangga karena bisa meredam tangisan sang putri. Dan menceritakan jika gerakan tarian mereka diberi nama Sara (tarian atau gerakan) Dabi-dabi oleh sultan karena keterbatasan ingatannya," kata Tomas.
Hingga saat ini, akibat keterbatasan ingatan dan salah penyebutan nama tarian oleh kedua orang Sasadu itu, maka Tarian Sara Dabi-dabi terus melekat di Masyarakat Sasadu Suku Sahu.