Sensasi Menjalani Ibadah Salat Jumat di Masjid Terbesar Singapura
Masjid Darul Ghufran yang berada di Singpura dijuluki oleh warga setempat dengan nama "Menara Biru".
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, SINGAPURA - Terik matahari menyinari kawasan Tampines, tepatnya di sekitaran Masjid Darul Ghufran, Singapura.
Siang itu, warga setempat berbondong-bondong mendatangi rumah ibadah tersebut untuk melaksanakan salat jumat.
Memasuki pekan terakhir Ramadan 2023, Tribunnews berkesempatan ikut melaksanakan salat jumat di masjid terbesar di Singapura itu.
Ya, Masjid Darul Ghufran merupakan masjid terbesar di Singapura. Rumah ibadah ini selesai dibangun 33 tahun silam atau tepatnya pada Desember 1990 lalu.
Baca juga: Kebersihan Sebagian Dari Iman, Jaga Ibadah Selama Puasa, Masjid-Masjid Dibuat Lebih Cemerlang
Mengutip laman Wikipedia, saat itu Masjid Dharul Ghfuran baru diresmikan tujuh bulan berikutnya oleh Haji Othman Haron Eusofe, Anggota Parlemen untuk Marine Parade GRC pada 12 Juli 1991.
Masjid Darul Ghufran dijuluki oleh warga setempat dengan nama "Menara Biru". Masjid seluas 5.910 meter persegi ini mampu menampung sebanyak 5500 orang.
Masjid ini sempat ditutup sementara waktu karena ada renovasi. Kegiatan ibadah dipindahkan ke musala di dekat situ.
"Masjid ditutup dan direnovasi selama dua tahun dan dibuka kembali pada akhir tahun 1999. Saat itu, semua kegiatan dilakukan di sebuah musala yang letaknya berdekatan dengan lokasi sekarang," tulis situs resmi Masjid Darul Ghufran, dikutip Jumat (14/4/2023).
Renovasi berikutnya dilakukan pada September 2016. Ada peningkatan besar-besaran yang membuat renovasi kali ini memakan waktu lebih lama, yaitu hampir tiga tahun.
"Seiring berkembangnya komunitas di Tampines, ada kebutuhan untuk memperbarui masjid. Pada bulan September 2016, Menara Biru ditutup dan menjalani pekerjaan besar-besaran hingga dibuka kembali pada Maret 2019. Selama masa perbaikan, semua kegiatan dilakukan di sebuah musala di samping lokasi yang sekarang. Masjid kemudian diresmikan oleh Presiden Halimah Yacob pada 20 April 2019," tulis situs resmi Masjid Darul Ghufran.
Kali ini, masjid yang Tribunnews datangi sudah direnovasi dua kali. Ketika tiba pada pukul 12.00 waktu setempat, bangunan masjid terasa megah.
Kondisi di dalam masjid masih cukup lengang. Beberapa saf belum terisi penuh. Orang-orang masih berdatangan, terutama dari arah halte bus.
Bus tampaknya menjadi pilihan warga setempat untuk melakukan perjalanan ke Masjid Darul Ghufran. Kemudian diikuti dengan berjalan kaki. Ada beberapa orang yang juga mengenderai sepeda dan memarkirnya di sisi jalan.
Di dalamnya, ada sebuah pemandangan yang cukup asing. Di pojok kiri, ada ruang yang diisi oleh deretan kursi untuk para lansia melakukan salat.
Masjid ini juga tak memakai pendingin ruangan. Area salat diisi oleh sejumlah kipas besar yang terpasang di plafon. Dengan pintu-pintu yang dibiarkan terbuka, membuat di dalam masjid tak begitu pengap.
Tak lama setelah itu, sekira pukul 12.15, saf di dalam tiba-tiba terisi penuh. Orang-orang memasuki masjid dan langsung mengisi beberapa spot kosong yang tersedia.
Dalam sekejap, saf sudah terisi penuh. Beberapa orang bahkan rela duduk berhimpitan asalkan bisa mendapat tempat di dalam. Padahal, azan saat itu dijadwalkan berkumandang pada pukul 13.06.
Usai azan berkumandang, khatib langsung menaiki mimbar untuk menyampaikan khotbah. Tema siang itu adalah Reviving Our Noble Values. Ceramah disampaikan dalam Bahasa Melayu.
Guna memudahkan jamaah yang duduk jauh dari mimbar, pengelola Masjid Darul Ghufran menyediakan dua layar besar di paling depan, dan dua layar kecil di tengah.
Ceramah yang disampaikan dalam Bahasa Melayu ini juga dilengkapi oleh terjemahannya di empat layar tersebut. Bahasa Inggris dipilih untuk menerjemahkan ceramah sang khatib.
Untuk orang Indonesia yang hadir menyimak khutbahnya, rasanya akan mudah memahaminya. Jadi, tak perlu repot membaca terjemahan Bahasa Inggris yang disediakan.
Jalannya ceramah berjalan khidmat. Tak ada teriakan anak kecil menghiasi khutbah siang itu. Kemudian, salat jumat pun dimulai.
Usai salat jumat, pemadangannya terasa familiar. Orang-orang keluar masjid mengambil alas kaki, berhamburan kembali ke tujuannya masing-masing, rasanya persis seperti di Tanah Air.
Jadi, bagi masyarakat muslim Indonesia yang sedang berwisata ke Singapura, mungkin bisa menjadikan salat jumat di Masjid Darul Ghufran sebagai salah satu agenda.
Sensasinya memang tidak jauh berbeda dengan salat di Indonesia, tetapi sejumlah pemandangan baru cukup menambah kesan dan pengalaman menarik kala berwisata ke negeri yang terkenal akan patung Merlion ini.