Matcha Langka di Jepang, Mengapa Konsumsi Berlebihan Bisa Jadi Masalah?
Merek teh Jepang yang menjual bubuk matcha kini kesulitan memenuhi permintaan yang sangat tinggi baik di toko fisik maupun online mereka.
Penulis: Ambar Purwaningrum
Contohnya adalah Cha Cha Matcha, yang dibuka di New York pada tahun 2016, menjadi satu kedai pertama di dunia Barat yang memanfaatkan daya tarik estetika matcha.
Dengan tampilan toko serba merah muda dan motif pohon palem, kafe ini dengan cepat memperoleh banyak pengikut.
Cha Cha adalah satu contoh dari banyak bisnis Barat yang terus memanfaatkan matcha hingga saat ini.
Tren TikTok
Tren membuat matcha latte di rumah juga relatif baru.
Dengan meningkatnya popularitas TikTok selama lockdown pandemi 2020, membuat minuman menarik seperti kopi dalgona Korea menjadi cara untuk mengatasi stres dan kebosanan.
Di antara banyak resep viral seperti banana bread dan pasta feta panggang, matcha terus berkembang pesat, terutama di dunia digital.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh asosiasi minuman ini dengan berbagai "estetika" TikTok yang mengemas tren mikro dan produk ke dalam konten aspiratif.
Konsumsi yang Sadar dan Sumber Alternatif
Sangat mudah untuk terjebak dalam peluang belanja yang tak ada habisnya di Jepang, baik itu membeli boneka Hello Kitty langka atau sepatu Onitsuka Tiger edisi terbatas.
Namun, penting untuk diingat bahwa membeli terlalu banyak kaleng matcha dan menimbunnya bisa merampas kesempatan orang lain untuk menikmati minuman favorit mereka.
Ini juga menjadi hambatan bagi para praktisi upacara teh.
Sebagai fenomena global, matcha kini tersedia di luar toko Jepang dan toko online.
Merek yang berbasis di AS, seperti Rocky’s Matcha, Chamberlain Coffee, Blue Bottle, dan Nami Matcha, semakin populer sebagai alternatif yang solid untuk pilihan dari Jepang.