Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Saya Menyaksikan Tragedi Mei 98 di Solo

Sudah 12 tahun ingatan saya terkait kerusuhan 13 Mei 1998 di Solo (Surakarta) yang begitu mencekam, brutal, anarkhis dan kelam. Tak terhitung berapa bangunan, ruko, supermarket dan toko fashion maupun emas yang dirampas.

Editor: Iswidodo
zoom-in Saya Menyaksikan Tragedi Mei 98 di Solo
ist
Ilustrasi mall yang dibakar massa Mei 1998 di Solo 

TRIBUNNEWS.COM- Sudah 12 tahun ingatan saya terkait kerusuhan 13 Mei 1998 di Solo (Surakarta) yang begitu mencekam, brutal, anarkhis dan kelam. Tak terhitung berapa bangunan, ruko, supermarket dan toko fashion maupun emas yang dirampas.

Saat itu, 13 Mei 1998 sekitar pukul 10.00 tiba-tiba di Jalan Slamet Riyadi (jalan protokol pusat kota) tampak kepulan asap membumbung tinggi. Asap itu berasal dari ban ban bekas yang dibakar di tengah jalan. Kebetulan saya tinggal di kampung Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta yang hanyak berjarak 100 meter dari jalan Slamet Riyadi.

Begitu saya ke jalan, tampak ratusan orang berbondong-bondong menuju ke Purwosari. Anehnya, massa itu terdiri dari pemuda, remaja dan orang tua baik laki maupun perempuan. Saya juga ikut ke lokasi itu karena tertarik melihat langsung jarak dekat.

Di Purwosari, ada bangunan Bank Bapindo dan beberapa rumah toko yang dilempari batu. Hampir semua orang ikut melempar. Saat itu saya melihat ada beberapa orang mengenakan pakaian TNI AD yang turut berjalan di kerumunan ribuan orang. Orang yang mengenakan pakaian tentara tersebut tidak melarang dan tidak menyuruh alias membiarkan ulah ribuan massa yang merusak bangunan bank dan pertokoan.

Mahasiswa yang semula berada di lokasi itu, lantas menjauh karena kerusuhan makin membesar dan jumlah kerumunan massa tambah ramai. Bisa dibilang ratusan ribu karena jalan utama Slamet Riyadi yang membelah kota Solo dipadati orang.

Warga yang semula hanya menonton dan mengikuti gerak massa lama-lama ikut melempari ruko di pinggir jalan Slamet Riyadi. Karena terdengar teriakan para perusuh waktu itu, "Siapapun yang tidak ikut merusak fasilitas pemerintah Soeharto adalah antek-anteknya," sehingga orang pun mencari batu guna melempari ruko. Batu batu

besar berseliweran, kayu, tiang bendera dari bahan besi juga dicabut untuk merusak pintu ruko. Nyaris semua massa terlibat perusakan di kerusuhan itu.

Berita Rekomendasi

Saya tidak tau siapa yang mengendalikan arah perusakan atau menunjukkan jalan tapi tampak alur massa itu begitu terarah. Dari empat arah ribuan massa betemu di simpang Gendhengan Solo sehingga ratusan ribu massa terhampar di permpatan besar itu.

Tidak itu saja. Bangunan rumah ibadah, pertokoan, mall dan bank dipecah kacanya. Pintu rolling door dijebol dan dagangan dirampas. Tampak oleh saya waktu itu di pojok Matahari Mall sudah dipadati ribuan orang yang melempar batu dan membakarnya.

Sebagian membakar dari luar dan ratusan warga sudah keluar dari mall tersebut dengan membawa berbagai barang dagangan. Mereka tampak rakus karena barang yang dipikul bermacam-macam dan tampak keberatan menuruni tangga.

Tak berapa lama lagi mall besar itu pun terbakar. Karena udara panas, ribuan warga menjauh dan berjalan menyisir di kampung Gajahan Solo arah ke Keraton. Di kiri dan kanan itu, pertokoan dirusak dan dijarah.

Tampak ada toko Bata dijebol rolling doornya dan ratusan sepatu diambil orang. Kadang amuk warga ini salah mengenai toko milik pribumi. Maklum, waktu itu toko-toko sudah tutup dan di luar
sudah ditulis "Asli Pribumi", Asli Muslim, Wong Jowo" dan sebagainya. Namun tulisan itu tidak membuat ribuan warga menghentikan kerakusannya.


Di sepanjang jalan ini, juga ada orang berpakaian tentara yang mengikuti gerak ribuan massa tapi membiarkan. Dan warga pun merasa mendapat dukungan atau merasa diijinkan.

Ketika saya menuju perempatan Gendhengan, ratusan ribu massa telah berkumpul di tempat itu. Tampak ada beberapa mobil polisi anti huru hara. Di mobil tersebut ada puluhan pasukan kura-kura ninja. Ketika mobil polisi berhenti, ada beberapa polisi mengacungkan senjata laras panjang ke arah ribuan massa yang sudah beringas.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas