Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Saya Menyaksikan Tragedi Mei 98 di Solo
Sudah 12 tahun ingatan saya terkait kerusuhan 13 Mei 1998 di Solo (Surakarta) yang begitu mencekam, brutal, anarkhis dan kelam. Tak terhitung berapa bangunan, ruko, supermarket dan toko fashion maupun emas yang dirampas.
Editor: Iswidodo
Massa pun tidak takut tapi malah mengejar polisi tersebut. Nyaris saja polisi kura kura ninja itu tertangkap warga. Beruntung temannya cepat menarik naik ke atas mobil polisi dan melaju meninggalkan kerumunan massa.
"Bunuh polisi. Bunuh polisi," teriak ribuan massa waktu itu. Memang tampak aneh waktu itu, jika ada tentara merasa menjadi kawannya dan tidak diganggu. Tapi begitu melihat polisi, kemarahan warga langsung memuncak.
Pernah penjarahan dilakukan di toko emas dekat Masjid Agung Surakarta. Begitu rolling door berhasil didobrak, dari dalam toko tersebut keluar wanita paruh baya mengenakan jilbab. Ia menangis dan mohon ampun kepada massa yang menjarah emas di tokonya. "Ampun Paaak. Kami muslim, jangan dirampas," kata ibu berkerudung itu. Tapi massa tetap merampasnya.
Bahkan pedagang es cendol dan es campur di dekat masjid Agung itu pun tak luput dari perampasan. Mereka minta minum sebanyak yang dimiliki pedagang tersebut dan tidak dibayar. Pedagang itu tampak ketakutan saat membuatkan minuman yang ditunggui ratusan perusuh.
Kejadian ini dari pagi hingga malam. Pada malam hari gelap gulita karena listrik padam. Bahkan listrik padam hingga tiga atau lima hari. Jalanan sepi hingga hari ketiga. Tak ada petugas polisi yang menghentikan kendaraan melintas tanpa helm. Bahkan pengendara mengejek polisi yang sudah mulai menempati pos posnya yang juga dibakar.
Anak-anak dan ibu-ibu yang lewat di gang-gang terhubung dengan jalan Slamet Riyadi tampak masih membawa hasil jarahan berupa sepatu, pakaian, peralatan rumah tangga, elektronik dan sebagainya. Kejadian ini masih tampak hingga hari ketiga. Menurut pengakuan mereka, saat itu barang jarahan tidak langsung dibawa pulang tapi disembunyikan dulu agar terkumpul banyak dan menunggu sepi.
Sepanjang pengamatan saya yang mengikuti arah ribuan massa waktu itu, tidak terjadi pemerkosaan atau penganiayaan terhadap etnis atau suku tertentu. Karena ruko atau mall yang dirusak tidak ditemui pemiliknya lagi. Jika pemilik ruko itu orang pribumi langsung mohon maaf dan tidak dianiaya.
Toko atau restoran yang semula saya tau dimiliki oleh orang Tionghoa, saat dibakar dan dijarah waktu itu tidak ditemukan orangnya. Ruko, mall, hotel dan bank yang dibakar tidak dipadamkan oleh mobil pemadam tapi api mati sendiri setelah hari kedua karena habis hangus.
Hingga tiga hari, jalan masih lengang dengan bekas bekas hitam kebakaran dan ban ban bekas yang tinggal kawatnya masih belum dibersihkan. Mall juga demikian, tampak senyap dengan bau asap dan warna gosong yang ditinggalkan. (*)