Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
ISKA Ajak Semua Komponen Atasi Krisis Budi Pekerti
Menelusuri kembali relung sejarah kebangsaan itu, kita melihat bahwa para intelektual merupakan penggerak di balik Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908
PENULIS: Ketua Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Sanctus Albertus Magnus dan Mulyawan Margadana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada 20 Mei 2013 Indonesia akan memasuki 105 tahun momentum historis Kebangkitan Nasional. Atas hal tersebut semua pantas bersyukur atas perjuangan bangsa Indonesia hingga mampu bangkit bersatu membangun entitas kebangsaan Indonesia.
Menelusuri kembali relung sejarah kebangsaan itu, kita melihat bahwa para intelektual merupakan penggerak di balik Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908.
Dengan karakter pengabdian dikemas sebagai front perjuangan kebangsaan sebagai cikal bakal antitesa perjuangan kedaerahan. Resultan dari perjuangan tersebut membuahkan Sumpah Pemuda yang mengikrarkan diri dalam bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu dan berbahasa yang satu -Indonesia. Kita senantiasa bersyukur bahwa pada momentum 105 tahun Kebangkitan Nasional saat ini, kita menikmati berbagai kemajuan sebagai bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat.
Pada situasi terkini, kita melihat bahwa Kebangkitan Nasional 2013, berkarakter nasional demokratis menjadi penggerak. Mereka adalah kelas menengah Indonesia yang terdidik dengan latar belakang yang beragam baik secara sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Namun sejumlah persoalan mendasar secara simultan turut menyandera berbagai perubahan yang ingin digapai sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi.
Setidaknya fakta yang kian hari menyandera cita-cita nasional. Pertama, konflik pada berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik konfik pada tingkat penyelenggara negara dan konflik horizontal (antarkelompok masyarakat).
Konflik antarkepolisian-KPK, kepolisian-kejaksaan, DPR-pemerintah, DPR-MK, dll.
Konflik dengan latar belakang agama antara lain tampak dari penutupan rumah ibadah (gereja/mesjid) dan kriminalisasi komunitas Ahmadyah. Konflik antarkelompok masyarakat dengan latar belakang suku, sebagaimana muncul di Lampung. Konflik dengan latar belakang perebutan akses sumber daya lahan (agraria) antara korporasi-kelompok masyarakat juga mengalami peningkatan frekwensi yang tinggi.
Konflik sosial itu menunjukkan betapa kita tidak mampu menjaga solidaritas yang terbangun dalam momentum kebangkitan nasional 1908. Terjadinya konflik cenderung disebabkan oleh absennya keteladanan dari para penyelenggara dan tokoh nasional dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Rakyat selalu mendapatkan tontonan konflik sebagai berita utama acara televisi ataupun laporan media, yang menonjolkan kekuatan kelompok, merendahkan martabat orang yang kalah, menjadikan orang lain sebagai musuh bagi yang tidak sesuai dengan pandangannya, serta rendahnya moralitas dan etika.
Kedua, kasus korupsi yang melibatkan para penyelenggara negara, politisi, pengusaha bahkan tokoh masyarakat/agama turut terseret dalam berbagai kasus korupsi di negara ini semakin memperparah keterpurukan kita sebagai Negara bangsa merdeka.
Ketiga, secara khusus permasalahan kedaulatan bangsa belum mampu dijaga secara utuh. Hal ini tampak dari persoalan yang mengemuka dan tak kunjung dapat diselesaikan, antara lain, keterpurukan sosial ekonomi masyarakat di daerah perbatasan acapkali memercikkan keinginan untuk lebih memilih keluar dari entitas ke-Indonesia-an.
Persoalan Aceh dan Papua yang tak kunjung terselesaikan, bahkan cenderung pada situasi menggerogoti integritas NKRI.