Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
ISKA Ajak Semua Komponen Atasi Krisis Budi Pekerti
Menelusuri kembali relung sejarah kebangsaan itu, kita melihat bahwa para intelektual merupakan penggerak di balik Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908
Penggelontoran dana otonomi khusus di Tanah Papua, kekerasan demi kekerasan acapkali terjadi, dalam hal ini rakyat menjadi korban. MoU Helsinski yang disepakati belum mampu meredam kekerasan yang terjadi di Aceh, bahkan memumculkan persoalan baru yang turut menggerogoti eksistensi NKRI.
Keempat, kepemimpinan nasional belum mampu menjaga solidaritas nasional sebagaimana yang diwariskan oleh momentum Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda dan Proklamasi 1945.
Demi alasan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, rakyat dengan setianya masih menerima stempel miskin dari Negara. Entah itu program bantuan langsung tunai, bantuan langsung swadaya mandiri, jaminan kesehatan masyarakat, program keluarga harapan, dan segudang embel-embel program lainnya. Indonesia, kian menghawatirkan.
Mirisnya, sikap pemerintahan Indonesia terhadap kebijakan minyak dunia, amatlah tergantung. Tak ada kepastian tegas melindungi rakyat dari serangan pasar bebas. Hanya, berpura-pura khawatir terhadap penetapan harga bahan bakar minyak (BBM). Padahal, jelas, kita hanya dituntun mengikuti harga internasional.
Dengan memperhatikan hal di atas, kami melihat ada sebuah krisis dari nilai tertinggi norma Indonesia, yakni, krisis budi pekerti, krisis akan pikiran yang baik dan jernih dari tiap-tiap komponen negara-bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai kejuangan pada momentum historis Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda dan Proklamasi 1945 serta kesetiaan rakyat Indonesia.
Adalah penting bagi generasi muda untuk terus mengingat ketiga sindrom alzheimer bangsa ini – yaitu menjadi “Pelupa, Munafik dan Amok”, agar situasi yang sama tidak terjadi pada mereka ketika saat memimpin.
Pada momentum bersejarah ini, kami mengajak segenap komponen bangsa untuk mengenakan budi pekerti dalam memaknai kembali Kebangkitan Nasional 1908. Khususnya dalam menghadapi arus globalisasi AFTA 2015 dan semakin terbukanya ASEAN Community yang berarti akan terjadi lintas arus budaya yang deras dan menerjang setiap individu.
Untuk itu sudah seharusnya dalam tataran negara diperlukan mekanisme yang sistematis untuk penananaman dan pengembangan nilai-nilai Pancasila. Sedangkan dalam tataran individual dengan menguatkan kembali solidaritas tanpa sekat sebagai rakyat dari sebuah negara-bangsa yang pernah mengalami penjajahan merupakan upaya yang harus dilakukan.
Proses berkesinambungan dalam upaya memunculkan manusia Indonesia dengan budi pekerti yang luhur. Rela berkorban demi nusa dan bangsa bukan untuk diri sendiri atau kelompok.
Dalam budi pekerti yang luhur tersebut, kita kembali membangun solidaritas dengan pemaknaan bahwa suatu kehendak baik, datang dari siapa saja tanpa pembedaan entitas yang melekat.
Solidaritas merupakan wujud keberpihakan terhadap mereka yang mengalami ketidakadilan, miskin, lemah, dan teraniaya. Mengurai masalah secara bersama, mencari jalan keluar secara bersama dan melakukannya secara bersama dengan setara.
Dengan demikian mengenakan budi pekerti yang luhur, seruan solidaritas tanpa sekat menjadi suatu semangat bersama dalam upaya merevitalisasi kembali kebangkitan nasional.
Dalam tataran praksis harus ditunjukkan dengan berada langsung dalam pergumulan masalah yang dihadapi, tidak menjaga jarak, terbuka, solider dan ditujukan bagi kepentingan kesejahteraan umum. Sebagai langkah awal dimulai dari diri sendiri dengan mulai mengenakan budi pekerti untuk kebangkitan bangsa.