Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Refleksi Menjelang HUT Ke-67 Bhayangkara
Tanggal 1 Juli 2013, Polri genap berusia 67 tahun. Sejak tahun 2000 lalu, era kemandirian Polri telah dilaksanakan
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Sebagai service police (pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat), mimpi masyarakat adalah polisi mampu menjadi community relation, yaitu adanya interaksi polisi dengan warga masyarakat yang bersikap pro-aktif, antisipatif dan penuh inisiatif.
Jika mimpi masyarakat bisa dipenuhi oleh polisi maka terbentuklah yang dinamakan community policing, yaitu suatu konsep gaya perpolisian di mana polisi dan masyarakat adalah mitra yang sederajat dalam kegiatan perpolisian.
Dari pembahasan di atas, muncul pertanyaan, "Bagaimana mimpi masyarakat bisa terwujud jika jati diri negatip para “oknum” Polri menjadi taruhan jati diri positip Polri sebagai institusi ? Lalu, peranan apa yang bisa disumbangkan masyarakat agar mimpi mereka dapat terwujud ?"
Dalam paradigma lama, polisi adalah menjalani sebuah pekerjaan. Sehingga di masa lalu, alasan menjadi anggota Polri adalah untuk bekerja atau untuk mencari nafkah. Implikasi dari paradigma lama itu adalah budaya dengan anggapan bahwa penikmatan atas kewenangan yang dimiliki yang secara tanpa sadar mengabaikan fungsi pelayanan yang harus dijalaninya. Dan pada akhirnya sebagai buah, semakin banyak penyelewengan atau penyimpangan dalam pelaksanaan tugasnya, karena orientasinya hanyalah sebagai pekerjaan.
Dalam paradigma baru, menjadi Polisi tidak hanya sekedar pekerjaan. Menjadi Polisi berarti tidak hanya sebagai pekerjaan tetapi lebih dari itu yakni panggilan, pengabdian dan pelayanan, dimana dibutuhkan pemuliaan dalam pelaksanaan tugasnya.
Keterlibatan masyarakat senantiasa dibutuhkan oleh Polri. Justru karena mimpi dan harapan masyarakat itulah sosok anggota Polri dan Polri sebagai institusi akan terbentuk. Karena bagaimanapun, Polri adalah merupakan produk dari masyarakatnya. Namun perlu disadari juga, menjadi sosok seperti apa, masyarakatlah yang mampu membentuknya. Jika sebagian masyarakat bermimpi dan bersikap, sebagai misalnya, bahwa polisi bisa “dibeli”, polisi adalah penegak hukum yang tidak adil, tidak berwibawa dan tidak humanis, maka yang akan terjadi seperti itulah gambarannya.
Masyarakat harus mampu mendidik dirinya juga untuk berperilaku dan sekaligus juga menjadi pendorong polisi menjadi sosok seperti yang ada dalam mimpinya. Siapa yang membeli – siapa yang menjual, siapa yang adil dan siapa yang menjadi korban, siapa yang mempermudah dan siapa yang mempersulit, dll.
Oleh karenanya, menjelang 67 tahun usia Polri ini, adalah penting sebagai anggota Polri dan juga masyarakat untuk kembali berefleksi dan sekaligus merefleksikan kembali pemuliaan profesi Polri sebagai panggilan, pengabdian dan pelayanan. Ketiga hal inilah yang kemudian mendasari tugas Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan. Mimpi itu bisa terwujud jika, masyarakat turut serta dalam pembentukannya. (*)
*) Eko Suprihanto adalah Perwira Menengah Polri yang sedang melaksanakan pendidikan di Sespimmen Polri, Lembang, Jawa Barat
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.