Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Labelisasi Teroris nan Sadis di Tengah Kampus-kampus Religius
Lebih kental labelisasi teroris ketimbang pemberantasan terorisme, apalagi di tengah kampus-kampus religius di Ciputat.
Editor: Agung Budi Santoso
Mulai dari baju anti peluru, helm, sampai decker (peindung siku). Alat deteksi dini berupa robot pengintai, alat penyadap komunikasi canggih di Cyber Crime Investigations Satellite Office (CCISO) pemberian Australia, hingga gas air mata.
Dengan banyaknya peralatan deteksi dini serta alat pengintai serta pelumpuh dahsyat, dipastikan tidak ada kecolongan dari pihak Densus. Karena semua bisa diantisipasi dengan baik.
Dengan segala kelebihannya, Densus jelas memiliki peralatan yang tidak dimiliki oleh teroris. Oleh karena itu, alasan adanya perlawanan dan bakutembak terduga” tentu tidak akan lagi terdengar karena semua aktifitas para terduga sudah bisa dideteksi sebelum penyergapan.
Kalau hanya bisa membantai, tentu tidak perlu alat-alat itu. Densus cukup membawa senjata serbu, serta bom pelumat. Yang tidak pernah saya dengar adalah, keinginan Densus melumpuhkan terduga menggunakan teknologi sederhana misalnya gas ber- bius. Sederhana sekali.
Kenapa Al Qur’an Disita?
Dari rilis yang dikeluarkan Mabes Polri, ada yang menarik untuk dicermati. Ada 31 item barangbukti, dan diantara semua barangbukti, terdapat banyak item yang tidak jelas keterkaitan barangbukti dengan para terduga yang sudah tewas mengenaskan.
Dari sekian barangbukti yang tidak jelas keterkaitannya dengan terorisme, salahsatu adalah adanya 4 (empat) Al Qur’an yang turut disita oleh Densus 88. Penyitaan Al Qur’an ini benar-benar membuat miris, karena bisa berakibat kecurigaan siapa yang berada di balik topeng pasukan burung hantu ini.
Parahnya, penyitaan Al Qur’an oleh Densus 88, bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, di Pondok Pesantren Umar Bin Khatab (UBK) Bima, Nusa Tenggara Barat, Densus juga menyita 1 (satu) peti berisi penuh Al Qur’an dalam kasus dugaan terorisme.
Semua Al Qur’an yang disita Densus ini jelas untuk diseret ke Pengadilan, dan mungkin untuk selanjutnya, Al Qur’an itu akan dimusnahkan atau disimpan di gudang barangbukti terorisme, dijadikan satu dengan barang-barang kotor lainnya. Jangan lagi ditanya, bagaimana cara dan proses penyitaan Al Qur’an ini oleh aparat.
Penyitaan Kitab Suci jelas pelanggaran berat, baik secara hukum maupun sosial. Tidak ada kaitan sedikitpun antara Al Qur’an dan terorisme. Kalaupun, sekali lagi kalaupun ada penyalahgunaan ayat Qur’an oleh seorang terduga pada masa lalu, tentu bukan dijawab dengan menyita Al Qur’an-nya.
Langkah ini sudah pasti langkah biadab, terkutuk, dan bahkan tidak pantas dilakukan oleh manusia, apapun itu jabatannya. Parahnya, penyitaan Al Qur’an tersebut dilakukan di Ciputat dan di tempat lain pada proses penggeledahan di kontrakan para terduga.
Apakah dengan demikian Densus dan Polri tidak sadar bahwa tindakannya ini sebagai bentuk penghinaan terbesarnya kepada mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia?
Saya jadi ingat perkataan petinggi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Petrus Golose saat peluncuran bukunya Deradikalisasi Terorisme di Universitas Indonesia (UI) Agustus 2009 silam. Petrus mengatakan, bahwa kunci kesuksesan deradikalisasi ada 3 (tiga).
Pertama, humanis. Dimana pemberantasan terorisme harus menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).