Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Labelisasi Teroris nan Sadis di Tengah Kampus-kampus Religius
Lebih kental labelisasi teroris ketimbang pemberantasan terorisme, apalagi di tengah kampus-kampus religius di Ciputat.
Editor: Agung Budi Santoso
Penulis: Mustofa B Nahrawardaya
PENYERGAPAN terduga terorisme yang berakhir dengan eksekusi mati bukanlah kasus pertama. Hampir di setiap penyergapan, selalu ada nyawa terduga melayang.
Sehabis para terduga tewas, kemudian diketemukan berbagai macam benda yang disebut barangbukti terorisme, yang tidak berkembang dari masa-ke masa. Pada kasus terakhir di Ciputat, yang paling memprihatinkan barangkali selain soal pembantaian para terduga, juga soal penyitaan Kitab Suci Al Qur’an oleh Densus 88.
Pembantaiannya sendiri sudah melanggar HAM, apalagi penyitaan Kitab Suci. Lengkap sudah masyarakat menyaksikan tindakan sadis dan biadab aparat yang berkedok penegakan hukum pemberantasan terorisme.
Pembantaian atau Penegakan hukum?
Pertama, dilihat dari proses peristiwanya, kegiatan aparat di Ciputat bukanlah kegiatan penegakan hukum, melainkan sebagai shock teraphy semata. Bentuk shock teraphy ini, lebih cenderung kepada pembantaian brutal nan sadis, ketimbang penegakan hukum seperti yang diatur dalam Undang-undang.
Terutama bagi kelompok yang masih memiliki keinginan berjihad, maupun berkeinginan melawan keinginan Pemerintah dalam hal ini keinginan Pemerintah mengikuti himbauan Amerika Serikat dalam War on Terror (perang melawan teror), maka shock teraphy tersebut sepertinya memang bagian dari program deradikalisai untuk membantu program pemberantasan terorisme global.
Sayangnya, yang mengalami kecemasan atas drama’ pembantaian di Ciputat, tentu bukan hanya kelompok garis keras, namun juga semua yang mengetahui peristiwa sadis tersebut. Kalau maunya disebut sebagai penegakan hukum, maka proses penyerbuan brutal lebih dari 9 jam yang berakhir dengan eksekusi mati, bahkan dilakukan bertepatan dengan pergantian tahun ini, jelas bukan kegiatan yang efektif.
Kedua, penegakan hukum jelas tidak dibenarkan jika dilakukan dengan melawan hukum. Pembantaian di Ciputat dan juga pembantaian-pembantaian pada kegiatan pemberantasan terorisme sebelumnya, sering dilakukan kepada pada orang yang masih terduga, yang proses peristiwanya tidak akuntabel.
Selain dilakukan tertutup, bahkan dipublikasikan hanya melalui pemberitahuan sepihak dari aparat kepolisian. Informasi sepihak, dalam dunia jurnalisme jelas tidak memenuhi syarat untuk disampaikan kepada masyarakat luas. Meski begitu, karena fakta peristiwanya ada, maka berita penegakan hukum’ tersebut tetap harus disampaikan kepada masyarakat meski kesaksian terhadap transparansi proses kejadiannya tergolong minim.
Ketiga, dengan adanya peristiwa Ciputat, maka mau tidak mau kawasan Ciputat dan sekitarnya, dimana di kawasan itu dikenal sebagai kawasan kampus religius terkenal seperti dengan adanya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta), STIE Ahmad Dahlan, Yayasan Lentera Hati Pusat Studi Al Qur’an, dan lain-lain, kini menjadi kawasan yang akan sering disebut sebagai kawasan teroris’. Ada apa ini?
Keempat, dengan pembantaian yang dilakukan di Ciputat, maka akan memberi pesan kepada masyarakat luas bahwa kawasan Ciputat yang banyak kampus religius itu, terbukti menjadi tempat subur bagi para terduga terorisme.
Karena sebelumnya, di kawasan yang sama juga pernah dilakukan eksekusi mati pada Saifudin Zuhri dan kawan-kawan, serta adanya kasus perampokan toko emas yang diduga dilakukan oleh terduga terorisme. Alhasil, banyaknya istilah terduga, menyebabkan keraguan apakah seluruh peristiwa terorisme di Ciputat selama ini adalah benar-benar kegiatan terorisme yang nyata?
Kelima, jika memang niatnya penegakan hukum dengan meringkus para terduga, Densus pun sudah pasti bisa melakukannya tanpa pembantaian. Peralatan keamanan pertahanan diri yang dimiliki personal Densus tidak ada yang bisa menandingi di seluruh dunia. Sangat canggih dan lengkap.