Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Anomali Penaikan Harga Gas Elpiji
Pertamina semestiya sudah menyadari dan mempertimbangkan masak-masak dampak kenaikan
Editor: Hendra Gunawan
Oleh Fahmy Radhi
PENAIKAN harga Gas Elpiji 12 Kg di awal tahun politik 2014 ini, tidak saja mengejutkan bagi masyarakat, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar lantaran ada beberapa anomali terhadap keputusan tersebut. Salah satu anomali itu adalah pilihan waktu untuk memutuskan penaikan harga Elpiji 12 Kg. Di pengujung tahun 2013 sebenarnya Pertamina sudah menaikan harga Elpiji dengan membebankan biaya distribusi ke konsumen sehingga menaikan harga jual Elpiji 12 Kg dari Rp 80.200 menjadi Rp 87.500 per tabung, terhitung sejak 1 Desember 2013.
Tanpa dinyana, dalam jangka waktu hanya sebulan, Pertamina kembali menaikan harga Elpiji 12 Kg dengan kenaikan yang tidak tangung-tanggung hingga mencapai sebesar 68%, sehingga menaikan harga jual menjadi Rp 117.708 per tabung. Namun, di pasar harga bergerak liar seolah tanpa kendali hingga mencapai Rp 130.000 di Yogyakarta, dan Rp 145.000 di Jakarta, bahkan di Jayapura mencapai Rp 310.000 per tabung.
Menjadi anomali bagi Pertamina yang tampak gegabah dalam memutuskan dua kali kenaikan harga Elpiji 12 Kg dengan tenggang waktu yang sangat singkat, hanya satu bulan saja. Tentunya Pertamina mengetahui bahwa singkatnya tenggang waktu penaikan harga itu akan memicu gelombang penolakan dari berbagai kalangan, namun Pertamina tetap saja menaikan harga.
Kenaikan harga sebesar itu sudah pasti akan memicu angka inflasi yang diprediksi mencapai antara 0,5% hingga 0,9% year of year. Dampaknya, tidak hanya menambah beban masyarakat konsumen Elpiji 12 Kg, tetapi juga akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang berpotensi semakin memiskinkan rakyat rentan miskin. Pertamina semestiya sudah menyadari dan mempertimbangkan masak-masak dampak kenaikan harga Elpiji sebelum memutuskannya. Anomalinya, keputusan Pertamina itu seolah mengabaikan begitu saja berbagai dampak yang akan muncul sebagai akibat keputusan penaikan harga Elpiji 12 Kg.
Anomali berikutnya adalah dasar pertimbangan yang digunakan oleh Pertamina untuk menjustifikasi keputusan penaikan harga. Baru kali ini, keputusan penaikan harga Elpiji mendasarkan pada hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetang kerugian yang diderita Pertamina dalam binis Gas Elpiji selama 5 tahun terakhir. Tugas utama BPK adalah mengaudit keuangan lembaga Pemerintah dan BUMN untuk menentukan tingkat kewajaran dari laporan keuangan pada tahun berjalan, bukan untuk merekomendasikan kenaikan harga.
Memang keputusan kenaikan harga Elpiji 12 Kg menjadi kewenangan korporasi Pertamina, yang diputuskan dalam RUPS. Namun, selama ini Pertamina selalu meminta “restu” dari Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM )sebagai ijin sebelum menaikan harga Elpiji. Untuk itu, sejak setahun lalu, Pertamina sebenarnya sudah mengajukan ijin penaikan harga, tetapi Menteri ESDM tidak kunjung mengijinkannya. Menjadi anomali bagi Pertamina untuk tetap memutuskan penaikan harga Elpiji 12 Kg tanpa mengantongi ijin dari Menteri ESDM. Di luar kelaziman jika Pertamina hanya sekedar memberitahu kepada Menteri ESDM tentang keputusan penaikan harga Elpiji 12 Kg.
Tak pelak lagi, keputusan penaikan harga yang kontroversal itu menuai badai penolakan dari berbagai pihak, baik masyarakat dan DPR, maupun Pemerintah. Wakil DPR Priyo Budi Santoso dari Golkar mengatakan bahwa kenaikan harga Elpiji 12 Kg merupakan sebuah keputusan yang “kurang ajar”, karena Pertamina memutuskannya pada saat DPR sedang reses. Drajad Wibowo Wakil Ketua Umum PAN juga mengatakan bahwa merupakan kekeliriun besar bagi Pertamina yang menaikan harga Elpiji 12 Kg tanpa konsultasi dengan Pemerintah.
Sedangkan Partai Demokrat (PD) sebagai partai penguasa menegaskan penolakannya terhadap keputusan Pertamina. Sekretaris Jenderal PD, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas yang selama ini sangat jarang berbicara atas nama PD, seakan tidak mau ketinggalan meneriakan penolakanPD. Ibas mengajukan alasan bahwa penolakan PD karena keputusan kenaikan harga elpiji 12 Kg, yang mencapai lebih dari 60%, akan memicu inflasi yang berujung pada kenaikan harga kebutuhan pokok sehingga membebani rakyat.
Riuh-rendah penolakan Partai Politik (Parpol) terhadap keputusan Pertamina di tahun politik ini tentunya tidak “imum” dari kepentingan politik untuk pemenangan Pemilu 2014. Di tengah kegaduhan penolakan sejumlah Parpol tersebut, Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun dengan sigap meresponnya. Di hari Minggu yang mestinya hari libur, SBY menggelar Rapat Terbatas Kabinet Indonesia Bersatu II di Bandara Halim Perdanakusuma, sepulang kunjungan kerja dari Jawa Timur.
Seusai rapat kabinet, SBY mendesak Pertamina untuk meninjau ulang keputusannya dalam menaikkan harga Elpiji 12 Kg. SBY memberikan waktu 1x24 jam bagi Pertamina untuk melakukan peninjauan ulang. Kendati awalnya belum ada kejelasan tentang keputusan peninjauan ulang tersebut, tetapi tampaknya tinjau ulang tersebut lebih mengarah pada penurunan harga jual Elpiji 12 Kg.
Adanya berbagai anomali dan Instruksi Presiden yang akan menurunkan harga jual Elpiji 12 Kg mengingatkan kembali pada strategi “naik-turun” harga BBM yang diterapkan menjelang Pemilu 2009. Kala itu, SBY menaikan harga BBM lantaran adanya kenaikan harga minyak di pasar internasional. Seiring dengan penurunan harga minyak dunia, SBY lalu memutuskan untuk menurunkan harga BBM. Strategi “naik-turun” BBM diyakini memberikan kontribusi signifikan terhadap perolehan suara PD dan pemenangan pemilihan Presiden pada 2009.
Adanya keserupaan dengan kondisi menjelang Pemilu 2009 memunculkan dugaan bahwa SBY akan kembali menerapkan strategi “naik-turun” terhadap harga Elpiji 12 Kg. Tujuannya untuk mendongkrak elektabilitas PD, yang selama ini terpuruk akibat didera kasus korupsi yang melibatkan sejumlah kader PD. Kalau dugaan itu benar adanya, sungguh amat disesalkan. Pasalnya, penerapan strategi “naik-turun” harga Elpiji 12 Kg tidak hanya mengorbankan Pertamina sebagai sasaran hujatan, tetapi juga mengombang-ambingkan rakyat dalam ketidakpastian penaikan-dan-penurunan harga Elpiji dan harga-harga kebutuhan pokok.
Harapannya, penggunaan strategi “naik-turun” tidak lagi digunakan untuk tujuan pemenangan Pemilu semata. Kalau pun harga Elpiji 12 Kg diturunkan seperti harga semula sebelum kenaikan harga pada 1 Januari 2014, keputusan itu semata-mata untuk meringankan beban rakyat, bukan untuk kepentingan sesaat pemenangan Pemilu 2014. (*)
*)Fahmy Radhi adalah Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada