Tribunners
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Managemen 'Bau' Pengelolaan Gas
Sehingga harga jual dari Pertamina sebelumnya Rp 70.200 per tabung menjadi 117.708 per tabung.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Foto seorang petugas mengirim Ease Gas 12 kg kepada konsumen yang memesan gas elpiji 12 kg yang persediaannya habis di Kantor Pusat Distributor gas elpiji PT Limas Raga Inti, Jalan Emong, Kota Bandung, Selasa (2/1/2013)lalu.
Oleh Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Junisab Akbar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebiasaan dalam penetapan harga bahan bakar minyak tanah (kerosin), bensin, solar dan migas di Indonesia yang seharusnya dilakukan Pemerintah bersama dengan DPR diluluh-lantahkan pada pembukaan tahun 2014.
Bentuknya adalah secara spesial dengan dalih ukuran tertentu maka cukup hanya oleh Direksi PT Pertamina (Persero) yang digaji dengan uang negara diumumkan sekaligus ditetapkan kenaikan harga bahan bakar gas 12 kg sebesar 67 persen.
Tepat tanggal 1 Januari 2014, harga jual elpiji 12 kilogram (kg) naik dari Rp 5.850 per kg menjadi Rp 9.809 per kg. Sehingga harga jual dari Pertamina sebelumnya Rp 70.200 per tabung menjadi 117.708 per tabung.
Sekilas, sepertinya itu adalah kenaikan harga semata-mata seperti kenaikan harga telur, sayur dan daging dipasaran. Padahal, gas adalah kebutuhan hajat hidup orang banyak. Ditambah dengan analisa bahwa kenaikan itu dilakukan akibat dari PT Pertamina yang terus merugi.
Kesan yang ditampilkan adalah kesan umum, padahal sesungguhnya kejadian itu terkategori sudah melanggar Undang-undang.Pelanggaran itu semakin diperkuat oleh Presiden SBY dengan mengungkapkan bahwa hasil pemeriksaan Badam Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah salah satu alasan kenaikan harga elpiji 12 kg.
Mengutip pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberbagai media yang menyatakan "alasan dan tujuan kenaikan elpiji 12 kg oleh Pertamina utamanya didorong dan dikarenakan oleh hasil pemeriksaan BPK yang dalam auditnya ditemukan kerugian Pertamina sebesar Rp7,7 triliun.
Lanjut Presiden, elpiji 12 kg tidak termasuk elpiji yang mendapatkan subsidi (harganya ditentukan pemerintah). Berbeda dengan elpiji 3 kg yang disubsidi. Kata kunci dari pernyataan SBY adalah kerugian didapatkan utamanya karena harga yang dianggap terlalu rendah dari elpiji 12 kg,".
Untuk itu, menurut SBY, konsultasi dengan BPK diperlukan agar solusi dan tindakan yang dilakukan Pertamina berkaitan dengan masalah kenaikan harga elpiji 12 kg itu nantinya tetap sesuai dengan hasil audit dan rekomendasi BPK.
Presiden SBY malah menambahkan, prinsip yang Pemerintah pilih dalam kebijakan elpiji 12 kg ini adalah, Pertamina dan Negara tidak terus menerus dirugikan apalagi dalam jumlah yang besar sebagaimana ditemukan oleh BPK.
Dua paragraf diatas menunjukkan bahwa Pemerintah sebagai pemilik saham melalui Menteri Keuangan yang dalam pengelolaannya diberikan kuasa kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada PT Pertamina, dalam kaitan kenaikan gas dalam tabung 12 kg itu sudah melakukan kesalahan. Kesalahan yang pertama adalah, bukan hanya harga subsidi yang selama ini ditetapkan oleh Pemerintah terkait migas.
Harga non subsidipun adalah hasil dari kebijakan Pemerintah, walau tidak dilakukan secara langsung. Jangankan migas, harga semen yang tidak disubsidipun dalam HET-nya dipengaruhi oleh Pemerintah.
Lalu yang kedua, jika memang penetapan PT Pertamina itu tidak salah, lantas mengapa Presiden SBY harus sampai melakukan 'intervensi' harga? Bahkan yang ketiga, Pemerintah 'mendesak' Badan Pemeriksa Keuangan RI untuk 'memaklumi' perubahan atas ketetapan PT Pertamina itu.
Apakah 3 kesalahan itu bisa diabaikan dengan begitu saja sehingga Presiden SBY dibenarkan memberikan respon yang luar biasa besar sampai-sampai kita tidak melihat hal tersebut sebagai suatu kegagalan dalam managemen Pemerintahan? Cukupkah penilaian kita positif hanya karena PT Pertamina itu nantinya akan berubah dari yang sekarang?
Atau, jangan-jangan PT Pertamina didorong secara 'diam-diam' untuk mengikuti saran BPK RI supaya Pemerintah tidak terkena dampaknya. Lalu ketika publik merespon kenaikan itu dengan negatif lantas Pemerintah 'mendesak' BPK RI untuk memaklumi bahwa Pemerintah tidak bisa melaksanakan rekomendasi BPK RI supaya defenisi kerugian PT Pertamina itu tidak bisa disidik aparat hukum?
Sangat banyak terkuak berbagai keanehan-keanehan pasca PT Pertamina 'dicampuri' SBY dalam penetapan harga gas yang tidak disubsidi itu. Lalu, tepatkah jika kemudian DPR RI menganggap hal itu sebagai kejadian biasa bukan malah kejadian luar biasa dalam tata kelola Pemerintahan?
Saran kami, pasca BPK melakukan audit terhadap PT Pertamina khususnya dalam kaitan kemurahan harga gas dalam tabung 12 kg maka BPK RI harus, pertama bertahan dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)nya dan sekaligus melakukan audit kinerja atas 'intervensi' Presiden SBY terhadap PT Pertamina yang melakukan perintah BPK RI.
Sebab, intervensi itu sudah terkategori upaya untuk mempengaruhi LHP BPK sehingga PT Pertamina tidak melaksanakan seperti apa-apa yanhg direkomendasikan LHP BPK RI. BPK RI jangan terpengaruh politisasi Presiden sebab itu melanggar UU BPK yang pada dasarnya akan menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintahan pasca SBY.
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com