Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Corby dan Perang Narkoba
dirasakan sebagai tindakan pemerintah yang tidak tepat
Corby dalam proses banding kalah dan ia oleh MA dkembalikan pada vonis PN 20 tahun penjara, tetapi mendapat grasi lima tahun dari Presiden sehingga seharusnya hukuman yang harus dijalani adalah 15 Tahun.
Namun baru sembilan tahun berjalan, secara mendadak diumumkan ia mendapat pengampunan dan dibebaskan dengan bersyarat. Narapidana narkoba kelas berat Schapelle Leigh Corby terpidana 20 tahun penjara, ternyata justru diuntungkan selain oleh grasi lima tahun dari Presiden juga berbagairemisi dari Lapas.
Kini karena dimugkinkan oleh UU, Corby yang baru menjalani hukuman 9 tahun, bahkan dibebaskan secara bersyarat. Justru karena pemerintah berpendapat bebas bersyarat itu haknya.
Dalam penjelasannya Menkumham Amir Syamsuddin, sebagai pejabat penegakan hukum yang paling tinggi, ternyata tidak memberikan keterangan sebagai pejabat negara yang menghukum, tetapi terkesan malah sebagai pembelanya Corby, Menkumham malah berusaha meyakinkan masyarakat mengenai hak-hak Corby untuk bebas.
Menkumham menegaskan hak untuk bebas itu adalah sebuah fakta hukum yang dibuat oleh DPR RI, artinya rakyat jangan membantah dan tidak setuju.
Sikap ini terdengar aneh, seharusnya sebagai penegakhukum dalam rangka mencegah perdagangan gelap narkoba, meskipun ada aturan hukum yang memungkinkan seseorang narapidana kasus pidana dibebaskan dengan syarat, tetapi terhadap kasus narkoba harus dipersulit. Pejabat penegak hukum sebaiknya jangan ikut-ikut LSM selalu mengeluarkan alasan klasik membela pelanggarannya dengan alasan demi HAM.
Terus terang Pasal UU yang memungkinkan seorang narapidana kasus pidana diberikan kebebasan bersyarat, seharusnya hanya digunakan secara sangat selektif, misalnya karena terpidana masih belum dewasa.
Sayangnya juga tidak ada politisi atau ahli hukum yang menjelaskan lahirnya UU dengan Pasal Pembebasan Bersyarat yang telah diputuskan oleh DPR RI, bahwa UU tersebut seharusnya wajib digunakan dengan sangat selektif, disertai pertimbangan yang mendalam oleh instansi-instansi yang kompeten, bukan diputuskan secara sefihak oleh Pemerintah.
Prosedur atau proses yang ketat ini lebih-lebih perlu dilakukan dengan serius, karena keputusan bebas bersyarat berkonsekunsi lebih berat dari pemberian grasi. Dengan grasi seorang narapidana akan tetap berada di penjara sampai hukumannnya habis.
Menkumham mestinya juga harus menjelaskan apakah ada syarat-syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh Pemohon dalam upayanya memperoleh keputusan bebas bersyarat. Sebab kalau syarat tersebut hanya yang bersifat formil, yakni berkelakuan baik, rajin, tidak pernah membuat masalah dan sebagainya tentu semua terpidana akan berusaha mengajukan permohonan bebas bersyarat, sehingga jumlahnya bisa mencapai 1.291 orang seperti dewasa ini.
Pertimbangan HAM dalam menghukum seseorang tetap perlu dipertimbangkan, tetapi tentu ada azas lain yang juga harus diperhatikan, misalnya azas urgensi. Apakah ada urgensi untuk membebaskan Schapelle Leigh Corby, sebagian besar dari pihak yang berwenang berbicara tentang narkoba pasti akan mengatakan, sama sekali tidak ada urgensinya.
Oleh sebab itu sebenarnya banyak kalangan dalam masyarakat bertanya, apa alasan khusus yang menjadi pertimbangan Pemerintah, sehingga dengan anggapan Corby berkelakuan baik, rajin, tidak pernah membuat masalah dsb, maka ia dibebaskan dengan syarat-syarat . Sekalilagi Pemerintah adalah penegak hukum, bukan pembela Corby, sehingga sebagai pertanggung jawaban kepada masyarakat tentunya harus ada penjelasan apa pertimbangan lain selain hak karena UU, sedangkan hak bukanlah sesuatu yang mutlak harus diberikan.
Seperti tuduhan bahwa kehidupan demokrasi kita baru bersifat prosedural, ada partai politik, ada Pemilu, ada DPR dan ada UU, tetapi apa yang terjadi belum sepenuhnya mencerminkan upaya untuk memenuhi kepentingan rakyat (belum sesuai dengan azas dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat) tetapi masih untuk kepentingan partai politik yang berkuasa, untuk kepentingan para birokrat/penguasa yang ada dibidang politik, dibidang ekonomi dan pemilik kepentingan-kepentingan lainnya, maka praktek hukum dinegara ini dikhawatirkan juga masih bersifat prosedural saja, sudah diproses secara prosedur hukum, sudah sesuai dengan hukum acara pidana, namun vonisnya sama sekali jauh dari tuntutan rakyat.